Paulo Freire lahir pada 19 September
1921 di Recife, sebuah kota pelabuhan di Brasil yang terletak pada bagian timur
laut negara tersebut. Wilayah Recife dapat dikatakan sebagai wilayah yang
terbelakang dan identik dengan kemiskinan. Sejak kecil Paulo Freire sudah
terbiasa hidup dan bersosialisasi bersama “kaum-kaum tertindas”, dan berkat
pergumulan sosialnya yang sangat panjang bersama “kaum-kaum tertindas” itulah
terciptalah sebuah buku yang berjudul “Pedagogy
of the Oppressed” atau kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dapat
diartikan sebagai “Pendidikan Kaum Tertindas”. Paulo Freire berharap lewat
halaman-halaman buku “Pendidikan Kaum Tertindas” yang dia ciptakan ini dapat
melestarikan hal-hal berikut: “keyakinannya
kepada rakyat jelata, keyakinannya kepada manusia, dan kepada penciptaan sebuah
dunia tempat manusia dapat lebih mudah mencintai sesamanya”, (hal. 9).
Pendek kata, buku “Pendidikan Kaum Tertindas” ini diciptakan sebagai salah satu refleksi kritis
untuk mencapai humanisasi dimana suatu tatanan yang ada dapat memanusiakan
manusia dalam arti sepenuhnya.
Buku “Pendidikan Kaum Tertindas”
ini dibagi menjadi 4 bab. Bab pertama
berbicara mengenai pentingnya pendidikan bagi kaum tertindas. Untuk menyadarkan
kaum tertindas tentang betapa pentingnya merebut kembali hak-hak mereka yang
telah dirampas oleh para penindas, maka dibutuhkan suatu pendidikan bagi “kaum-kaum tertindas”.
Dengan adanya pendidikan ini, diharapkan kaum tertindas dapat mengetahui
situasi yang mereka hadapi sekarang. Menurut Paulo Freire, pendidikan kaum
tertindas sebagai pendidikan para humanis dan pembebas, terdiri dari dua tahap. “Pada tahap pertama, kaum tertindas membuka
tabir dunia penindasan dan melalui praksis melibatkan diri untuk mengadakan
perubahan. Pada tahap kedua, dimana realitas penindasan itu sudah berubah,
pendidikan ini tidak lagi menjadi milik kaum tertindas tetapi menjadi
pendidikan untuk seluruh manusia dalam proses mencapai kebebasan yang langgeng”,
(hal 27-28). Dari kedua tahap tersebut, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa
Paulo Freire ingin mengajarkan kepada masyarakat agar berjuang untuk
membebaskan diri dari kaum penindas tetapi kemudian memanusiakan kaum penindasnya,
dan tidak berlaku menjadi penindas ketika kaum tertindas berhasil mengambil
alih kekuasaan. Karena keadaan tidak akan menjadi lebih baik ketika kekuasaaan
hanya berpindah kutub. Agar tidak berbalik menjadi penindas maka kaum tertindas
yang berjuang harus dibekali paradigma tentang kemanusiaan dan keadilan.
Nilai-nilai humanis yang harus dikembangkan dalam pendidikan, agar pendidikan
dapat membawa perubahan ke arah yang lebih baik dengan menjunjung tinggi
nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.
Pada bab dua, Paulo Freire menbicarakan
tentang proses pendidikan yang dialami oleh “kaum-kaum tertindas” selama ini.
Paulo Freire mengatakan, “pendidikan yang
dialami oleh “kaum-kaum tertindas” selama ini tak ubahnya seperti pendidikan
dengan “sistem bank”. Dalam pendidikan “sistem bank”, dimana ruang gerak yang
disediakan bagi kegiatan para murid hanya terbatas pada menerima, mencacat, dan
menyimpan”, (hal 52). Guru merupakan subyek yang memiliki pengetahuan yang
diisikan kepada murid, sedangkan murid hanya sebuah deposit belaka. Sangat
jelas sekali pendidikan seperti ini tak ubahnya adalah suatu penindasan
terselubung terhadap kreatifitas murid, murid dituntut untuk mengikuti jalan
pemikiran guru tanpa diberi kesempatan untuk berpikir kritis dalam memecahkan
suatu masalah yang ada. Untuk lepas dari penindasan gaya pendidikan “sistem
bank”, Paulo Freire memberikan suatu alternatif baru yaitu dengan suatu metode
yang diberinya nama metode “pendidikan hadap masalah”. “Pendidikan yang membebaskan berisi laku-laku pemahaman (acts of
cognition), bukannya pengalihan-pengalihan informasi. Dia merupakan sebuah
situasi belajar di mana obyek yang dapat dipahami (sama sekali bukan titik
akhir dari dari laku pemahaman) menghubungkan para pelaku pemahaman, guru di
satu sisi dan murid di sisi lain, (hal 64).
Dalam bab 3 Paulo Freire menjelaskan
betapa pentingnya adanya dialog di dalam pendidikan kaum tertindas. “Jika dalam mengucapkan kata-katanya sendiri
manusia dapat mengubah dunia dengan jalan menamainya, maka dialog menegaskan
dirinya sebagai sarana di mana seseorang memperoleh makna sebagai manusia, (hal
77). Dengan adanya dialog diharapkan tidak ada lagi keadaan dimana satu orang aktif “menabungkan” gagasannya kepada orang lain,
sementara yang lain cuma pasif menerima apa yang diberikan orang lain kepada
dirinya.
Pada
bab terakhir, Paulo Freire coba membandingkan antara model pendidikan antidialogis
dengan model pendidikan dialogis. Model pendidikan antidialogis selalu ditandai
dengan usaha menguasai manusia, sedangkan model pendidikan dialogis selalu
bersifat kooperatif. Di dalam buku “Pendidikan Kaum Tertindas” ini desebutkan
bahwa, teori-teori tindakan antidialogis dikenal istilah-istilah seperti
penaklukan, pecah dan kuasai, manipulasi, dan serangan budaya. Sedangkan teori-teori
tindakan dialogis dikenal istilah-istilah seperti kerja sama, persatuan untuk
pembebasan, organisasi, dan sintesa kebudayaan.
Walau
latar belakang buku “Pendidikan Kaum Tertindas” ini berada di Brasil, akan
tetapi isi dari buku ini masih relevan untuk
diterapkan di Indonesia. Karena yang kita ketahui, praktek-praktek
pendidikan “gaya bank” masih sering
sekali terjadi di Indonesia. Kelebihan buku ini terletak pada
tulisan-tulisannya yang mempunyai “nyawa”, mungkin hal ini dikarenakan buku ini
ditulis dari pengalaman langsung sang penulis, sehingga bisa membuat pembaca
merasa mengalami secara langsung kejadian-kejadian yang dihadapi oleh penulis.
Sedangkan kekurangan dari buku ini mungkin dari gaya bahasanya yang agak berat,
sehingga terkadang untuk memahami satu alenia harus diulang berkali-kali.
0 komentar :
Posting Komentar