Jumat, 10 Juni 2016

Image result for buku pendidikan kaum tertindasPaulo Freire lahir pada 19 September 1921 di Recife, sebuah kota pelabuhan di Brasil yang terletak pada bagian timur laut negara tersebut. Wilayah Recife dapat dikatakan sebagai wilayah yang terbelakang dan identik dengan kemiskinan. Sejak kecil Paulo Freire sudah terbiasa hidup dan bersosialisasi bersama “kaum-kaum tertindas”, dan berkat pergumulan sosialnya yang sangat panjang bersama “kaum-kaum tertindas” itulah terciptalah sebuah buku yang berjudul “Pedagogy of the Oppressed” atau kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai “Pendidikan Kaum Tertindas”. Paulo Freire berharap lewat halaman-halaman buku “Pendidikan Kaum Tertindas” yang dia ciptakan ini dapat melestarikan hal-hal berikut: “keyakinannya kepada rakyat jelata, keyakinannya kepada manusia, dan kepada penciptaan sebuah dunia tempat manusia dapat lebih mudah mencintai sesamanya”, (hal. 9). Pendek kata, buku “Pendidikan Kaum Tertindas” ini  diciptakan sebagai salah satu refleksi kritis untuk mencapai humanisasi dimana suatu tatanan yang ada dapat memanusiakan manusia dalam arti sepenuhnya.
Buku “Pendidikan Kaum Tertindas” ini  dibagi menjadi 4 bab. Bab pertama berbicara mengenai pentingnya pendidikan bagi kaum tertindas. Untuk menyadarkan kaum tertindas tentang betapa pentingnya merebut kembali hak-hak mereka yang telah dirampas oleh para penindas, maka dibutuhkan  suatu pendidikan bagi “kaum-kaum tertindas”. Dengan adanya pendidikan ini, diharapkan kaum tertindas dapat mengetahui situasi yang mereka hadapi sekarang. Menurut Paulo Freire, pendidikan kaum tertindas sebagai pendidikan para humanis dan pembebas, terdiri dari dua tahap. “Pada tahap pertama, kaum tertindas membuka tabir dunia penindasan dan melalui praksis melibatkan diri untuk mengadakan perubahan. Pada tahap kedua, dimana realitas penindasan itu sudah berubah, pendidikan ini tidak lagi menjadi milik kaum tertindas tetapi menjadi pendidikan untuk seluruh manusia dalam proses mencapai kebebasan yang langgeng”, (hal 27-28). Dari kedua tahap tersebut, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa Paulo Freire ingin mengajarkan kepada masyarakat agar berjuang untuk membebaskan diri dari kaum penindas tetapi kemudian memanusiakan kaum penindasnya, dan tidak berlaku menjadi penindas ketika kaum tertindas berhasil mengambil alih kekuasaan. Karena keadaan tidak akan menjadi lebih baik ketika kekuasaaan hanya berpindah kutub. Agar tidak berbalik menjadi penindas maka kaum tertindas yang berjuang harus dibekali paradigma tentang kemanusiaan dan keadilan. Nilai-nilai humanis yang harus dikembangkan dalam pendidikan, agar pendidikan dapat membawa perubahan ke arah yang lebih baik dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.
Pada bab dua, Paulo Freire menbicarakan tentang proses pendidikan yang dialami oleh “kaum-kaum tertindas” selama ini. Paulo Freire mengatakan, “pendidikan yang dialami oleh “kaum-kaum tertindas” selama ini tak ubahnya seperti pendidikan dengan “sistem bank”. Dalam pendidikan “sistem bank”, dimana ruang gerak yang disediakan bagi kegiatan para murid hanya terbatas pada menerima, mencacat, dan menyimpan”, (hal 52). Guru merupakan subyek yang memiliki pengetahuan yang diisikan kepada murid, sedangkan murid hanya sebuah deposit belaka. Sangat jelas sekali pendidikan seperti ini tak ubahnya adalah suatu penindasan terselubung terhadap kreatifitas murid, murid dituntut untuk mengikuti jalan pemikiran guru tanpa diberi kesempatan untuk berpikir kritis dalam memecahkan suatu masalah yang ada. Untuk lepas dari penindasan gaya pendidikan “sistem bank”, Paulo Freire memberikan suatu alternatif baru yaitu dengan suatu metode yang diberinya nama metode “pendidikan hadap masalah”. “Pendidikan yang membebaskan berisi laku-laku pemahaman (acts of cognition), bukannya pengalihan-pengalihan informasi. Dia merupakan sebuah situasi belajar di mana obyek yang dapat dipahami (sama sekali bukan titik akhir dari dari laku pemahaman) menghubungkan para pelaku pemahaman, guru di satu sisi dan murid di sisi lain, (hal 64).
Dalam bab 3 Paulo Freire menjelaskan betapa pentingnya adanya dialog di dalam pendidikan kaum tertindas. “Jika dalam mengucapkan kata-katanya sendiri manusia dapat mengubah dunia dengan jalan menamainya, maka dialog menegaskan dirinya sebagai sarana di mana seseorang memperoleh makna sebagai manusia, (hal 77). Dengan adanya dialog diharapkan tidak ada lagi keadaan dimana  satu orang aktif  “menabungkan” gagasannya kepada orang lain, sementara yang lain cuma pasif menerima apa yang diberikan orang lain kepada dirinya.
Pada bab terakhir, Paulo Freire coba membandingkan antara model pendidikan antidialogis dengan model pendidikan dialogis. Model pendidikan antidialogis selalu ditandai dengan usaha menguasai manusia, sedangkan model pendidikan dialogis selalu bersifat kooperatif. Di dalam buku “Pendidikan Kaum Tertindas” ini desebutkan bahwa, teori-teori tindakan antidialogis dikenal istilah-istilah seperti penaklukan, pecah dan kuasai, manipulasi, dan serangan budaya. Sedangkan teori-teori tindakan dialogis dikenal istilah-istilah seperti kerja sama, persatuan untuk pembebasan, organisasi, dan sintesa kebudayaan.

Walau latar belakang buku “Pendidikan Kaum Tertindas” ini berada di Brasil, akan tetapi  isi dari buku ini masih relevan untuk diterapkan di Indonesia. Karena yang kita ketahui, praktek-praktek pendidikan  “gaya bank” masih sering sekali terjadi di Indonesia. Kelebihan buku ini terletak pada tulisan-tulisannya yang mempunyai “nyawa”, mungkin hal ini dikarenakan buku ini ditulis dari pengalaman langsung sang penulis, sehingga bisa membuat pembaca merasa mengalami secara langsung kejadian-kejadian yang dihadapi oleh penulis. Sedangkan kekurangan dari buku ini mungkin dari gaya bahasanya yang agak berat, sehingga terkadang untuk memahami satu alenia harus diulang berkali-kali.

0 komentar :

Posting Komentar