Rabu, 02 Maret 2016

Gemericik air terdengar jelas dari lembah dasar sinklinal.  Aliran air yang kuat  akibat faktor kemiringan  menyisakan batu-batu besar bergelatakan tak beraturan. Berserakan tak selalu semrawut, terkadang malah membentuk konfigurasi yang artistik. Sayang aku hanya bisa memandangnya dari ketinggian. Padahal ingin sekali menceburkan diri ke airnya yang jernih, menyatu dengan alam, tanpa ada jarak lagi …. mungkin lain kali yaaa ….

"Arus air yang kuat menyebabkan unsur hara tanah yang berasal dari batuan induk terbawa aliran air menuju ke hilir sungai, pun begitu halnya dengan lapisan humus hasil organisme yang sudah terurai. Saat unsur hara dan lapisan humus it hilang, lahan tak bisa ditanami lagi, akibatnya lahan tak lagi produktif. Untuk menjaga keproduktifitasan lahan maka dibuatlah sengkedan-sengkedan itu dengan maksud teras tanah bisa menahan dan melambatkan laju air", katamu coba menjelaskan sembari mengeluarkan kamera ponsel dari saku celanamu.

Aku yang duduk di sampingmu pura-pura saja memperhatikan, walau sebenarnya tak begitu fokus dengan penjelasanmu. Hamparan hijau yang memanjakan mata, udara segar yang segarkan jiwa membuat perhatian hanya tertuju kepada pemandangan yang tersaji di hadapanku. "Wooowwww.... inilah yang disebut dengan keselarasan. Fenomena lipatan bumi hasil tenaga endogen dan tanah sengkedan hasil daya cipta manusia membentuk sebuah keserasian yang sangat elok dipandang", kataku memotong pembicaraanmu.

"Coba lihatlah di bawah sana!!!", timpalku. Seorang gadis seumuran anak SMA dengan lihainya membawa tumpukan rumput gajah yang diletakkan di belakang sepeda motornya. Sesekali ujung dari rumput gajah tersenggol semak-semak yang ada di kiri-kanan jalan. Jalan setapak berliku terjal tak lagi menjadi halangan. Mungkin yang ada dipikirannya adalah sapi perah di rumah sudah waktunya untuk makan. Sapi perah yang bisa diambil susunya setiap hari, sapi perah yang menjanjikan pemasukan untuk kebutuhan sehari-hari.

“Kira-kira, sampean berani gak seperti gadis remaja itu”, tanyaku
“Ya jelaaasss tidak berani laahhh ….. lha wong menaiki lereng terjal berliku  tanpa harus membawa beban saja sudah tidak berani kok, apalagi kalau harus ditambahi tumpukan rumput gajah yang pastinya harus membutuhkan keseimbangan dan keterampilan ekstra tinggi. Kira-kira apa ya yang membuat gadis remaja itu berani melakukan semuanya itu tanpa rasa takut?”, tanyamu seperti menyisakan rasa kagum melihat aksi dari seorang wonder woman.

“Keadaan”, jawabku sekenanya.

“Mungkin saja, tapi aku punya sudut pandang lain”, sepertinya ia tak puas dengan jawaban yang kuberikan barusan.


“Gadis itu berani melakukan itu semua itu karena ia sudah mengenal alam sebagai tempat hidupnya. Orang yang sudah saling mengenal tak ada lagi ketakutan di hatinya. Yang ada hanyalah rasa saling percaya. Alam merelakan diri diolah manusia, manusia percaya kepada alam merestui kehidupannya. Itulah kehidupan yang seharusnya kita damba. Hidup yang selaras dan seimbang dalam sebuah harmoni”.

(Dompyong, Bendungan, Trenggalek).


0 komentar :

Posting Komentar