Gemericik air
terdengar jelas dari lembah dasar sinklinal.
Aliran air yang kuat akibat
faktor kemiringan menyisakan batu-batu
besar bergelatakan tak beraturan. Berserakan tak selalu semrawut, terkadang
malah membentuk konfigurasi yang artistik. Sayang aku hanya bisa memandangnya
dari ketinggian. Padahal ingin sekali menceburkan diri ke airnya yang jernih,
menyatu dengan alam, tanpa ada jarak lagi …. mungkin lain kali yaaa ….
"Arus air yang
kuat menyebabkan unsur hara tanah yang berasal dari batuan induk terbawa aliran
air menuju ke hilir sungai, pun begitu halnya dengan lapisan humus hasil
organisme yang sudah terurai. Saat unsur hara dan lapisan humus it hilang,
lahan tak bisa ditanami lagi, akibatnya lahan tak lagi produktif. Untuk menjaga
keproduktifitasan lahan maka dibuatlah sengkedan-sengkedan itu dengan maksud
teras tanah bisa menahan dan melambatkan laju air", katamu coba menjelaskan
sembari mengeluarkan kamera ponsel dari saku celanamu.
Aku yang duduk di
sampingmu pura-pura saja memperhatikan, walau sebenarnya tak begitu fokus dengan
penjelasanmu. Hamparan hijau yang memanjakan mata, udara segar yang segarkan
jiwa membuat perhatian hanya tertuju kepada pemandangan yang tersaji di hadapanku.
"Wooowwww.... inilah yang disebut dengan keselarasan. Fenomena lipatan
bumi hasil tenaga endogen dan tanah sengkedan hasil daya cipta manusia
membentuk sebuah keserasian yang sangat elok dipandang", kataku memotong
pembicaraanmu.
"Coba lihatlah di
bawah sana!!!", timpalku. Seorang gadis seumuran anak SMA dengan lihainya
membawa tumpukan rumput gajah yang diletakkan di belakang sepeda motornya.
Sesekali ujung dari rumput gajah tersenggol semak-semak yang ada di kiri-kanan
jalan. Jalan setapak berliku terjal tak lagi menjadi halangan. Mungkin yang ada
dipikirannya adalah sapi perah di rumah sudah waktunya untuk makan. Sapi perah
yang bisa diambil susunya setiap hari, sapi perah yang menjanjikan pemasukan
untuk kebutuhan sehari-hari.
“Kira-kira, sampean
berani gak seperti gadis remaja itu”, tanyaku
“Ya jelaaasss tidak
berani laahhh ….. lha wong menaiki lereng terjal berliku tanpa harus membawa beban saja sudah tidak
berani kok, apalagi kalau harus ditambahi tumpukan rumput gajah yang pastinya harus
membutuhkan keseimbangan dan keterampilan ekstra tinggi. Kira-kira apa ya yang
membuat gadis remaja itu berani melakukan semuanya itu tanpa rasa takut?”,
tanyamu seperti menyisakan rasa kagum melihat aksi dari seorang wonder woman.
“Keadaan”, jawabku
sekenanya.
“Mungkin saja, tapi
aku punya sudut pandang lain”, sepertinya ia tak puas dengan jawaban yang kuberikan
barusan.
“Gadis itu berani
melakukan itu semua itu karena ia sudah mengenal alam sebagai tempat hidupnya.
Orang yang sudah saling mengenal tak ada lagi ketakutan di hatinya. Yang ada
hanyalah rasa saling percaya. Alam merelakan diri diolah manusia, manusia
percaya kepada alam merestui kehidupannya. Itulah kehidupan yang seharusnya
kita damba. Hidup yang selaras dan seimbang dalam sebuah harmoni”.
(Dompyong, Bendungan, Trenggalek).
0 komentar :
Posting Komentar