Berbahagialah
bagi yang mau menyediakan waktu untuk belajar dan bermain bersama anak-anak. Anak-anak
merupakan guru kehidupan yang nyata bagi setiap insan. Senyumnya yang simpul,
tawanya yang renyah, tingkah yang polos serba apa-adanya, tak pernah tersirat sedikitpun
topeng-topeng kemunafikan. Dari anak-anak seharusnya kita belajar, bahwa
kejujuran dan keterbukaan seharusnya berlaku untuk semua usia, untuk siapa
saja.
Setiap
anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, begitu kira-kira kata nabi. Jiwanya yang
bersih tergambar jelas dalam rona
keceriaan yang sering kita saksikan saat sedang bermain dengan teman sebayanya.
Coba lihatlah bagaimana cara mereka bermain!!! Tidak pernah membeda-bedakan
antara satu dengan yang lainnya. Semua sama. Tujuan mereka hanyalah mencari
kebahagiaan tanpa harus saling menyalahkan, tanpa harus saling mengalahkan,
bukan lagi tentang siapa yang unggul atas siapa, melainkan tentang sebuah
kebersamaan!!! (Eits, tidak sedang kampanye ajaran sosialisme lho ya :D)
Andai
saja terjadi ‘konflik kepentingan’ di dalam sebuah permainan, anak-anak sama
seperti orang dewasa kebanyakan, bertengkar!!! Tapi ada satu hal mendasar yang
membedakan anak-anak dengan orang dewasa, yakni keluasan hati tanpa rasa
kebencian. Bagi anak-anak, pertengkaran bukan awal dari sebuah permusuhan. Ia
hanyalah kesalahpahaman temporal yang
akan cair dan sendirinya. Tak ada luka hati, tak ada dendam, yang ada
paling cuma sebuah tangisan. Tangis ketidaknyamanan yang menimbulkan
kenyamanan, (Loh kok bisa? Bingung ya? Sama dooong, hahahaha).
Setelah
reda tangisan, setelah sang anak menemukan proses kenyamanannya (opo maneh iki
:D,) ia akan bermain kembali bersama temannya, seolah tak pernah terjadi yang
namanya pertengkaran. Indah sekali, bukan? Coba bandingkan apabila manusia yang
mengaku sudah dewasa terjebak dalam sebuah pertengkaran, apa yang akan mereka lakukan?
Bisa jadi dan sangat berpotensi untuk terus dipelihara bahkan hingga sampai
ajal menjelang. Atas nama keakuan mereka enggan untuk sekedar mengakui sebuah
kesalahan. Jangankan mengakui kesalahan, bertutur sapa ketika berpapasan di
jalan-pun menjadi enggan. Sebuah pertengkaran-pun menjadi sebuah awal dari
permusuhan. Dan repotnya lagi, permusuhan yang pada awalnya bersifat individu
ini terkadang coba diwariskan dan disebarkan menggunakan isu-isu berbau
primordial. Dus, kalau sudah begini, kehidupan macam apa yang layak untuk
diteruskan.
****
Sayang,
seiring bertambahnya usia, kesucian jiwa anak-anak terkontaminasi oleh polusi
yang bertebaran sana-sini. Kesucian jiwanya telah terampas oleh lingkungan yang
tidak ramah terhadap tumbuh kembangnya. Anak-anak dijejali informasi dan
teknologi yang belum sesuai dengan usianya. Orang tua yang semestinya mempunyai
tugas menanamkan nilai-nilai dan kesadaran diri sang anak acapkali sibuk dengan
kegiatannya sendiri. Mereka lupa mendekatkan diri secara emosi dan lebih
memilih membiarkan anak bertumbuh kembang bersama layar HP dan televisi. Kalau
sudah begini apa yang terjadi? Anak mengalami gejala alienisasi, keterasingan
diri, dan melakukan pelarian ke dunia yang mungkin tak pernah orang tua
kehendaki.
Tapi
biar bagaimanapun, saya tetap berpendapat bahwa tidak pernah ada anak yang
salah, yang ada adalah lingkungan yang salah dalam mendidik anak. Karakter anak
dibentuk melalui sebuah proses yang bernama pembiasaan. Ia akan melakukan
imitasi terhadap apa saja yang ada dan yang sedang berlangsung di sekitarnya. Baik
dan buruk seorang anak sangat tergantung lingkungannya. Mereka tentu saja
berbeda dengan manusia dewasa yang sudah mengenal konsep dan pengendalian diri.
Menjadi
orang tua adalah salah tugas terberat bagi manusia. Berbeda dengan profesi lain
yang ada sekolahnya, untuk menjadi orang tua tidak pernah ada sekolahnya. Maka
dari itu, bersyukurlah bagi kalian-kalian yang mendeklarasikan diri sebagai
‘jomblo ideologis aliran surealis’, (opo hubungane jaalll?). “Ojo kesusu ndang rabii!!!”, “Yo ojok sampek
pacaran tanpa tujuan sing pasti”. Pacaran hanya megajari cara menjalin
hubungan, tanpa pernah mengajari cara mendidik dan menyayangi buah hati. Kejombloan
bukanlah sesuatu hal yang mesti disesali apalagi diratapi, hohoho … Jomblo
adalah saat yang tepat untuk mengembangkan dan memantaskan diri, agar nantinya
bisa menjadi orang tua yang baik, yang mampu mendidik dan menyayangi sang buah
hati sepenuh hati, (ini bukan sebuah bentuk pembelaan diri seorang jomblo !!!).
Anak-anak adalah masa depan. Di tangan mereka kelak peradaban dilanjutkan.
Ditangan para orang tua-lah keberadaban
umat manusia dipertaruhkan!!!
Terpujilah
bagi mereka yang mendedikasikan diri untuk anak-anak ….
****
Sebagai
penganut aliran surealis, aku membayangkan, kelak anak-anakku dibesarkan di
desa nan permai bersama nyayian alam. Ia tumbuh bersama belai udara segar hasil
respirasi pohon kehidupan, ditimang dan dinina bobokan bersama merdu kicau
burung yang bersarang di dahan pohon-pohon besar. Bila pagi tiba, ia disuapi
makan sambil bermain dengan ayam-ayam kecil di pekarangan atau dengan ikan-ikan
lucu yang sengaja dipelihara di kolam. Mereka bermain sambil diiringi
samar-samar murattal al-quran, syair Ronggowarsito, lagu Bubuy Bulan, dan tak
ketinggalan lagu instrumentalnya Beethoven dan Mozart. Apalagi coba yang
diperlukan dikhawatirkan dari anak-anak yang tumbuh dan berkembang dalam
keharmonian?
Manusia
tercipta dari mineral-mineral tanah. Biarkan anak-anak bercengkerama dengan asal-muasalnya.
Dari situ anak bisa mengenal siapa dirinya yang sebenarnya. Tumbuh dan
berkembang dengan sempurna, jiwa dan raganya …..
0 komentar :
Posting Komentar