Minggu, 13 Maret 2016


Berbahagialah bagi yang mau menyediakan waktu untuk belajar dan bermain bersama anak-anak. Anak-anak merupakan guru kehidupan yang nyata bagi setiap insan. Senyumnya yang simpul, tawanya yang renyah, tingkah yang polos serba apa-adanya, tak pernah tersirat sedikitpun topeng-topeng kemunafikan. Dari anak-anak seharusnya kita belajar, bahwa kejujuran dan keterbukaan seharusnya berlaku untuk semua usia, untuk siapa saja.
                                                           
Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, begitu kira-kira kata nabi. Jiwanya yang bersih  tergambar jelas dalam rona keceriaan yang sering kita saksikan saat sedang bermain dengan teman sebayanya. Coba lihatlah bagaimana cara mereka bermain!!! Tidak pernah membeda-bedakan antara satu dengan yang lainnya. Semua sama. Tujuan mereka hanyalah mencari kebahagiaan tanpa harus saling menyalahkan, tanpa harus saling mengalahkan, bukan lagi tentang siapa yang unggul atas siapa, melainkan tentang sebuah kebersamaan!!! (Eits, tidak sedang kampanye ajaran sosialisme lho ya :D)

Andai saja terjadi ‘konflik kepentingan’ di dalam sebuah permainan, anak-anak sama seperti orang dewasa kebanyakan, bertengkar!!! Tapi ada satu hal mendasar yang membedakan anak-anak dengan orang dewasa, yakni keluasan hati tanpa rasa kebencian. Bagi anak-anak, pertengkaran bukan awal dari sebuah permusuhan. Ia hanyalah kesalahpahaman temporal yang  akan cair dan sendirinya. Tak ada luka hati, tak ada dendam, yang ada paling cuma sebuah tangisan. Tangis ketidaknyamanan yang menimbulkan kenyamanan, (Loh kok bisa? Bingung ya? Sama dooong, hahahaha).

Setelah reda tangisan, setelah sang anak menemukan proses kenyamanannya (opo maneh iki :D,) ia akan bermain kembali bersama temannya, seolah tak pernah terjadi yang namanya pertengkaran. Indah sekali, bukan? Coba bandingkan apabila manusia yang mengaku sudah dewasa terjebak dalam sebuah pertengkaran, apa yang akan mereka lakukan? Bisa jadi dan sangat berpotensi untuk terus dipelihara bahkan hingga sampai ajal menjelang. Atas nama keakuan mereka enggan untuk sekedar mengakui sebuah kesalahan. Jangankan mengakui kesalahan, bertutur sapa ketika berpapasan di jalan-pun menjadi enggan. Sebuah pertengkaran-pun menjadi sebuah awal dari permusuhan. Dan repotnya lagi, permusuhan yang pada awalnya bersifat individu ini terkadang coba diwariskan dan disebarkan menggunakan isu-isu berbau primordial. Dus, kalau sudah begini, kehidupan macam apa yang layak untuk diteruskan.

                                                                        ****
Sayang, seiring bertambahnya usia, kesucian jiwa anak-anak terkontaminasi oleh polusi yang bertebaran sana-sini. Kesucian jiwanya telah terampas oleh lingkungan yang tidak ramah terhadap tumbuh kembangnya. Anak-anak dijejali informasi dan teknologi yang belum sesuai dengan usianya. Orang tua yang semestinya mempunyai tugas menanamkan nilai-nilai dan kesadaran diri sang anak acapkali sibuk dengan kegiatannya sendiri. Mereka lupa mendekatkan diri secara emosi dan lebih memilih membiarkan anak bertumbuh kembang bersama layar HP dan televisi. Kalau sudah begini apa yang terjadi? Anak mengalami gejala alienisasi, keterasingan diri, dan melakukan pelarian ke dunia yang mungkin tak pernah orang tua kehendaki.

Tapi biar bagaimanapun, saya tetap berpendapat bahwa tidak pernah ada anak yang salah, yang ada adalah lingkungan yang salah dalam mendidik anak. Karakter anak dibentuk melalui sebuah proses yang bernama pembiasaan. Ia akan melakukan imitasi terhadap apa saja yang ada dan yang sedang berlangsung di sekitarnya. Baik dan buruk seorang anak sangat tergantung lingkungannya. Mereka tentu saja berbeda dengan manusia dewasa yang sudah mengenal konsep dan pengendalian diri.

Menjadi orang tua adalah salah tugas terberat bagi manusia. Berbeda dengan profesi lain yang ada sekolahnya, untuk menjadi orang tua tidak pernah ada sekolahnya. Maka dari itu, bersyukurlah bagi kalian-kalian yang mendeklarasikan diri sebagai ‘jomblo ideologis aliran surealis’, (opo hubungane jaalll?). “Ojo kesusu ndang rabii!!!”, “Yo ojok sampek pacaran tanpa tujuan sing pasti”. Pacaran hanya megajari cara menjalin hubungan, tanpa pernah mengajari cara mendidik dan menyayangi buah hati. Kejombloan bukanlah sesuatu hal yang mesti disesali apalagi diratapi, hohoho … Jomblo adalah saat yang tepat untuk mengembangkan dan memantaskan diri, agar nantinya bisa menjadi orang tua yang baik, yang mampu mendidik dan menyayangi sang buah hati sepenuh hati, (ini bukan sebuah bentuk pembelaan diri seorang jomblo !!!). Anak-anak adalah masa depan. Di tangan mereka kelak peradaban dilanjutkan. Ditangan para orang tua-lah  keberadaban umat manusia dipertaruhkan!!!

Terpujilah bagi mereka yang mendedikasikan diri untuk anak-anak ….
                                                                     
                                                                            ****
Sebagai penganut aliran surealis, aku membayangkan, kelak anak-anakku dibesarkan di desa nan permai bersama nyayian alam. Ia tumbuh bersama belai udara segar hasil respirasi pohon kehidupan, ditimang dan dinina bobokan bersama merdu kicau burung yang bersarang di dahan pohon-pohon besar. Bila pagi tiba, ia disuapi makan sambil bermain dengan ayam-ayam kecil di pekarangan atau dengan ikan-ikan lucu yang sengaja dipelihara di kolam. Mereka bermain sambil diiringi samar-samar murattal al-quran, syair Ronggowarsito, lagu Bubuy Bulan, dan tak ketinggalan lagu instrumentalnya Beethoven dan Mozart. Apalagi coba yang diperlukan dikhawatirkan dari anak-anak yang tumbuh dan berkembang dalam keharmonian?


Manusia tercipta dari mineral-mineral tanah. Biarkan anak-anak bercengkerama dengan asal-muasalnya. Dari situ anak bisa mengenal siapa dirinya yang sebenarnya. Tumbuh dan berkembang dengan sempurna, jiwa dan raganya …..

0 komentar :

Posting Komentar