Bagi masyarakat Kecamatan Gandusari dan sekitarnya, tentu sudah tak asing ketika mendengar nama gunung Kuncung. Gunung yang terletak di sebelah timur bukit Banyon ini memiliki ketinggian 322 mdpl (meter di atas permukaan laut). Sebenarnya jika ditilik dari ketinggian, gunung Kuncung ini masih masuk dalam kategori bukit. Sebab menurut Encyclopædia Britannica, gunung haruslah memiliki puncak dengan ketinggian 2000 kaki (610 mdpl). Tapi masyarakat sekitar situ terlanjur menyebut bukit Kuncung ini dengan sebutan gunung Kuncung. Gunung Kuncung merupakan salah satu pegunungan kapur yang ada di selatan Trenggalek.
Secara geologis, menurut Van Bemmelen (penulis buku ‘The Geology of Indonesia’), gunung Kuncung (dan pegunungan kapur lainnya di selatan Trenggalek) merupakan lanjutan dari pegunungan Seribu atau gunung Sewu yang membujur mulai Parangtritis hingga ke Pacitan. Berhubung sebagai kelanjutan pegunungan Sewu, tentu saja gunung Kuncung memiliki karakteristik berbeda dengan pegunungan Seribu. Dimana Van Bemmelen menjelaskan lebih lanjut bahwa wilayah antara Pacitan sampai pantai Popoh (disini termasuk gunung Kuncung), selain tersusun oleh batuan kapur (limestone) juga tersusun oleh aktifitas vulkanis berkomposisi asam-basa antara lain granit, andesit, dan dasit. Hal inilah yang menjadikan gunung Kuncung yang tersusun dari batuan kapur masih baik digunakan untuk lahan pertanian tentu saja karena kandungan mineral-mineral vulkanik yang sifatnya menyuburkan.
Di waktu pagi, gunung Kuncung menawarkan panorama matahari terbit yang menakjubkan. Lebih indah dari bukit Banyon yang ada di sebelah baratnya. Kenapa kok lebih indah? Bila bukit Banyon mempunyai lereng yang menghadap ke utara, maka gunung Kuncung ini mempunyai lereng menghadap ke arah timur. Berhadap-hadapan langsung dengan arah terbitnya matahari. Dimana matahari menyembul nun jauh di ufuk timur, bersebelahan dengan gunung Budheg, memancarkan semburat jingga yang menerpa kabut hasil dari kondensasi udara adveksi pagi hari.
Secara administratif gunung Kuncung masuk ke dalam wilayah desa Sukorame, kecamatan Gandusari. Tak sulit menemukan lokasi gunung Kuncung. Dari pasar desa Sukorame langsung saja menuju ke arah selatan. Sampai perempatan pertama ambil arah kanan, lurus, hingga sampai pemakaman Watudukun. Sesampai di pemakaman desa ini, ambil arah kiri, naik ke atas bukit menuju ke selatan. Ada dua pilihan untuk naik ke puncak gunung Kuncung. Jalan kaki atau naik sepeda motor. Tapi sangat disarankan untuk jalan kaki. Sebab, selain jalannya banyak yang rusak parah, di atas juga tidak ada permukiman penduduk dan penitipan sepeda motor. Biasanya motor di titipkan di rumah penduduk sebelah timur makam Watudukun.
Puncak gunung Kuncung dulunya digunakan sebagai pemancar ‘repeater’ televisi. Jalan beraspal dibangun mulai jalan desa hingga ke pucuk gunung. Seiring tidak difungsikannya pemancar ‘repeater’ televisi di puncak gunung Kuncung, kondisi jalan menjadi rusak tak terurus lagi. Di sana-sini nampak lapisan aspal mengelupas menyisakan kerikil-kerikil tajam, menjadikan jalur yang ada tak ubahnya seperti jalan makadaman. Untuk menuju ke puncak bekas pemancar ‘repeater’ televisi diperlukan waktu sekitar 30 menit dengan jalan kaki. Menempuh jarak sekitar 1,5 Km. Perjalanan tak terasa begitu melelahkan, karena di sepanjang jalan kita akan berpapasan dengan para petani yang sedang mengurus ladang kacang. Memanfaat lahan kosong di kanan-kiri bahu jalan.
Seperti halnya masyarakat pedesaan pada umumnya, mereka begitu ramah, walau sebelumnya tak pernah saling kenal. Di ujung jalan aspal, atau lebih tepatnya jalan makadaman, kita akan menemukan jejeran gedung tua yang tak lagi terurus. Atapnya sudah dibongkar, hanya menyisakan puing-puing tembok yang ditumbuhi oleh ilalang. Ada tiga bangunan utama. Itulah bekas kantor pemancar ‘repeater’ televisi yang tak lagi digunakan.
Menara bekas pemancarnya sudah hilang dibongkar, yang tersisa hanyalah kesan seram, sangat cocok digunakan untul lokasi syuting acara ‘Uji Nyali’. Walau berada di puncak, lokasi bekas pemancar ini bukanlah ¬spot terbaik untuk melihat matahari terbit. Untuk mencapai spot terbaik itu kita harus berjalan sekitar 500 m ke arah timur laut atau sebelah kanan dari lokasi pemancar. Dari sini jalanan tak lagi beraspal. Yang ada hanya jalan tanah setapak dengan padang rumut di kiri-kanan. Perjalanan menuju spot matahari terbit ini terasa sangat menyenangkan. Hamparan rumput hijau bak padang savana diselingi pohon-pohon berkayu besar (tak tahu nama pohonnya) dengan formasi yang tak begitu rapat menghasilkan sebuah konfigurasi yang apik dipandang mata. Bebatuan bawah laut yang terangkat ke permukaan hasil dari proses geologi jutaan tahun lalu, berserakan di antara rerumputan, seolah-olah menjadikan kita sedang berada di sebuah ‘stone garden’. Sekitar 10 menit perjalanan sampailah kita pada spot yang dimaksudkan.
Spot ini berupa dataran rumput lapang seperti halnya padang savanna yang cukup luas. Lokasinya sangat cocok digunakan sebagai bumi perkemahan, karena tempatnya begitu landai tak begitu curam. Dari sini terkadang kita bisa melihat ayam alas yang berseliweran di antara celah-celah bebatuan atau anjing hutan yang sesekali terlihat lewat di kejauhan.
Hal ini menunjukkan bahwa rantai makanan di tempat ini masihlah tetap terjaga. Kicauan burung-burung, hembusan angin sepoi-sepoi, serta sunyinya alam pegunungan yang jauh dari permukiman akan membuat kita betah berlama-lama dan enggan untuk meninggalkan tempat yang begitu mendamaikan ini. Ketika malam menjelang, hamparan lampu perkotaan tersuguh di hadapan mata kita. Bila beruntung, kita dapat menyaksikan fenomena ‘moon rise’ yang tersembul dari balik perbukitan.
Tempat ini juga sangat cocok bagi kalian yang menyukai astrofotografi atau fotografi langit malam. Dalam sunyi dan gelap kalian dapat menyaksikan ribuan bintang-gemintang yang menghiasi langit malam. Kalau ketemu waktu yang pas, tentu saja kalian dapat memotret gugusan ‘milky way’ atau galaksi bima sakti yang begitu menakjubkan itu. Indah, bukan?(*)
*) Baba Sujada, pegiat literasi di Qlc dan penyuka Gunung
Pernah dimuat di https://literasitrenggalek.wordpress.com
0 komentar :
Posting Komentar