Jauh jalan yang harus kau tempuh, mungkin samar bahkan
mungkin terjal. Tajam kerikil setiap saat menunggu, engkau lewat dengan kaki
tak bersepatu. (Iwan Fals)
“Saking alas mriko lho dik, pados kayu bakar”, tangan nenek
menunjuk arah jauh di belakang sana.
“Loh njenengan kok mboten ndamel sandal? Nopo mboten sakit
ampeyanipun?”,timbul rasa heran melihat nenek berjalan di jalan berbatu tajam
tanpa menggunakan alas kaki.
“Kulo niki mboten saget damel sandal lho dik, menawi damel
sandal malah kesandung-sandung”, ujar si nenek dengan begitu polosnya.
Jalan panjang berliku sekaligus berbatu tajam tak lagi menjadi
sebuah halangan bagi jiwa-jiwa yang telah matang dalam menjalani berbagai macam
bentuk tempaan. Kesederhanaan, keikhlasan dan kerja keras adalah semangat yang
tlah lama lekat iringi langkah diri menjalani segala cobaan. Kebesaran jiwa
menerima kenyatan hidup dengan tanpa mengeluhlah yang pada akhirnya menjadi
kekayaan terbesar yang dimiliki oleh sang nenek tuk arungi deras arus
kehidupan.
“Lihatlah barang sejenak ….!!!, sorot mata nenek itu begitu
meneduhkan bukan?”. Di kedalaman pupil matanya tersimpan berbagai macam bentuk
kebijaksaan. Tentu saja, saya yakin bukan kebijaksaan yang di dapat dari bangku
sekolahan, melainkan dari hubungan timbal baliknya dengan alam sebagai sumber
kehidupan. Senyumnya pun juga demikian. Senyum ketulusan yang memancar dari
bibirnya tentu saja bukanlah senyum kepalsuan penuh kepura-puraan. Sebuah
senyum yang bisa mentransfer aura kedamaian di hati setiap insan.
Potret nenek pencari kayu bakar di hutan ini adalah potret
keramahan manusia Indonesia yang berangsur-angsur hilang di telan oleh jaman.
Sekarang, kearifan lokal tak lagi dihiraukan. Kearifan lokal dianggap sebagai
barang yang usang. Yang namanya barang usang tentu saja sudah tak layak untuk
digunakan. Atau tetap saja digunakan tapi difungsikan sebagai barang pajangan.
Pernahkah mendengar kalimat “Memayu Hayuning Bawono”? Sebuah
kalimat yang sering digunakan sebagai pemanis ucapan di atas mimbar. Didengungkan
berulang-ulang hingga membuat siapa saja bosan. Bagaimana kita tak bosan kalau
kenyataan dilapangan tak pernah sesuai dengan apa yang diucapkan.
Lagi pula, bagaimana bisa mempercantik indahnya dunia kalau
yang dipikirkan hanya menumpuk kekayaan dan rebutan kekuasaan? Bagaimana bisa
mempercantik “jagad ageng” kalo “jagad alit” dalam diri sendiri saja sering
terlupakan?
Botoputih Bendungan.
#WonderfulTrenggalek
0 komentar :
Posting Komentar