Rabu, 02 Maret 2016

Jauh jalan yang harus kau tempuh, mungkin samar bahkan mungkin terjal. Tajam kerikil setiap saat menunggu, engkau lewat dengan kaki tak bersepatu. (Iwan Fals)

“Saking pundi mbah?”, sambil mengangguk hormat kepada orang yang lebih sepuh.
“Saking alas mriko lho dik, pados kayu bakar”, tangan nenek menunjuk arah jauh di belakang sana.
“Loh njenengan kok mboten ndamel sandal? Nopo mboten sakit ampeyanipun?”,timbul rasa heran melihat nenek berjalan di jalan berbatu tajam tanpa menggunakan alas kaki.
“Kulo niki mboten saget damel sandal lho dik, menawi damel sandal malah kesandung-sandung”, ujar si nenek dengan begitu polosnya.

Jalan panjang berliku sekaligus berbatu tajam tak lagi menjadi sebuah halangan bagi jiwa-jiwa yang telah matang dalam menjalani berbagai macam bentuk tempaan. Kesederhanaan, keikhlasan dan kerja keras adalah semangat yang tlah lama lekat iringi langkah diri menjalani segala cobaan. Kebesaran jiwa menerima kenyatan hidup dengan tanpa mengeluhlah yang pada akhirnya menjadi kekayaan terbesar yang dimiliki oleh sang nenek tuk arungi deras arus kehidupan.

“Lihatlah barang sejenak ….!!!, sorot mata nenek itu begitu meneduhkan bukan?”. Di kedalaman pupil matanya tersimpan berbagai macam bentuk kebijaksaan. Tentu saja, saya yakin bukan kebijaksaan yang di dapat dari bangku sekolahan, melainkan dari hubungan timbal baliknya dengan alam sebagai sumber kehidupan. Senyumnya pun juga demikian. Senyum ketulusan yang memancar dari bibirnya tentu saja bukanlah senyum kepalsuan penuh kepura-puraan. Sebuah senyum yang bisa mentransfer aura kedamaian di hati setiap insan.

Potret nenek pencari kayu bakar di hutan ini adalah potret keramahan manusia Indonesia yang berangsur-angsur hilang di telan oleh jaman. Sekarang, kearifan lokal tak lagi dihiraukan. Kearifan lokal dianggap sebagai barang yang usang. Yang namanya barang usang tentu saja sudah tak layak untuk digunakan. Atau tetap saja digunakan tapi difungsikan sebagai barang pajangan.

Pernahkah mendengar kalimat “Memayu Hayuning Bawono”? Sebuah kalimat yang sering digunakan sebagai pemanis ucapan di atas mimbar. Didengungkan berulang-ulang hingga membuat siapa saja bosan. Bagaimana kita tak bosan kalau kenyataan dilapangan tak pernah sesuai dengan apa yang diucapkan.

Lagi pula, bagaimana bisa mempercantik indahnya dunia kalau yang dipikirkan hanya menumpuk kekayaan dan rebutan kekuasaan? Bagaimana bisa mempercantik “jagad ageng” kalo “jagad alit” dalam diri sendiri saja sering terlupakan?

Botoputih Bendungan.

#WonderfulTrenggalek

0 komentar :

Posting Komentar