Oleh: Baba Sujjada*)
“Ora usum gelut usume Jaljalut!!! Ora usum gelut usume Jaljalut!!!” Begitulah jargon yang berkumandang disetiap penampilan kelompok Jaljalut Trenggalek.
Jaljalut adalah kepanjangan dari Jamaah Lintas Jalanan Satu Tujuan. Komunitas ini merupakan salah satu majelis dzikir dan sholawat yang mempunyai segmen khusus, yakni menyasar kaum muda. Berhubung sasarannya kaum muda, tentu saja strateginya haruslah berbeda. Maka jangan kaget apabila di setiap penampilan panggung Jaljalut selalu dipadati oleh pemuda berkaos oblong, seolah-olah sedang mau berangkat menonton konser musik metal atau kesenian jaranan.
Jangan berharap ada baju koko dan kopyah putih. Kaos berwarna hitam sudah menjadi seragam dan ciri khasnya. Memang menjadi terkesan urakan. Tapi urakan tak selalu berarti nakal dan membuat kerusakan. Buktinya WS. Rendra-pun membuat komunitas ‘Kaum Urakan’ untuk melawan segala macam bentuk penindasan yang berlindung di balik topeng-topeng kemunafikan.
Lagi pula hitam tak selamanya menjadi simbol kekotoran. Pun begitu juga sebaliknya, putih tak selamanya menjadi simbol kesucian. Sunan Kalijaga-pun lebih suka memakai pakaian berwarna hitam. Menurut kanjeng sunan, hitam akan mengingatkan pada semua dosa dan kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan. Ketika muncul kesadaran akan dosa dan kesalahan, disitulah proses penyucian dilangsungkan. Hitam bukannya kelam. Hitam itu menyucikan.
Jaljalut Trenggalek merupakan wadah yang dibentuk sebagai media perlawanan dan penyadaran. Perlawanan terhadap budaya profan ciptaan kaum kapitalis yang menggerus nilai-nilai luhur spiritual dan perlawanan terhadap kelompok-kelompok yang ingin memecah-belah persatuan nasional. Selain itu digunakan sebagai sarana penyadaran tentang bagaimana seharusnya umat beragama memiliki sikap ‘welas asih’ terhadap sesama makhluk Tuhan. Tujuan tersebut coba diraih melalui jalur kebudayaan. Bukan dengan jalan pemaksaan atau malah kekerasan. Seperti halnya yang pernah Walisongo ajarkan.
Ketika budaya hedon merajalela dikalangan kaum muda, disitulah Jaljalut menempatkan dirinya. Merangkul siapa saja tidak peduli apapun latar belakangnya. Walaupun Jaljalut sendiri terlahir dari rahim pesantren, tetapi jamaahnya tidak terbatas pada kaum sarungan. Jamaah Jaljalut banyak juga yang berasal dari kaum abangan. Banyak pemuda warung kopi bahkan tak jarang dijumpai pemuda tatto-an.
Jaljalut mencoba menerapkan dakwah dengan cara bil mauidhoh hasanah. Bukan dengan cara menghakimi dengan memberi vonis bersalah. Hal ini sesuai dengan dawuh-nya Gus Mus, bahwa dakwah itu mengajak, bukan memarahi dan memusuhi. ‘Ud’u ila sabili robbika bilhikmati wamauidzotil hasanah’ (Ajaklah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan tutur yang baik).
Metode dakwah egaliter yang jauh dari kesan eksklusifitas ternyata tidak hanya mendapatkan tempat di kalangan kaum muda saja. Metode dakwah model ini ternyata mampu menyampaikan pesan-pesan sampai meresap hingga ke dalam dada. Buktinya banyak sekali saya jumpai, pemuda yang awalnya suka mabuk-mabukan berangsur-angsur meninggalkan kebiasaannya. Seperti yang dicurhatkan oleh pemuda dengan akun @J-takankubiarkan Otakkusadar di dalam grup facebook Jaljalut Trenggalek, “Pesene bapakku 4.5 tahun kapungkur, seng uwis yo uwis le ….ojo kok lakoni eneh …. Kowe ki wes gedi, wes mikir endi sing salah endi sing bener. Sing uwis didadekne pengalaman gawe sing urung, ben kowe iso luwih becik.” Nampaknya ia menyesal dengan perbuatan masa lalunya dan bertekad untuk menjadi manusia yang lebih baik lagi kedepannya.
Memang, diberbagai kesempatan, Gus Badar (Pimpinan Jaljalut Trenggalek) selalu berpesan kepada jamaah Jaljalut agar selalu belajar untuk berbakti kepada kedua orang tua dan para guru. Jangan sampai menyakiti dan melukai hati mereka. Kita harus selalu berusaha untuk bisa membahagiakan mereka. Orang-orang yang telah mempunyai andil besar bagi kehidupan kita semua.
Orang tua telah melahirkan, merawat dan membesarkan kita secara dhohir. Begitu juga dengan guru-guru telah ngopeni kita secara batin. Sebisa mungkin kita harus belajar berterimakasih dengan mendoakan untuk kebaikan mereka semua dan mematuhi seluruh petuah-petuah bijaknya. Dengan berbakti kepada orang tua dan guru diharapkan hidup kita menjadi lebih berkah. Bisa mengalami ziyadatul khoir. Bertambahnya kebaikan dan kemanfaatan untuk diri sendiri maupun lingkungan di sekitar kita.
Tidak hanya menyinggung soal akhlak dan moral saja. Gus Badar juga menekankan agar jamaah Jaljalut selalu setia terhadap NKRI dengan Pancasila sebagai ideologi negara. Nampaknya Gus Badar ingin menjadikan Jaljalut Trenggalek sebagai salah satu media perlawanan terhadap para kaum ekstrimis dan radikalis yang ingin merongrong keutuhan NKRI. Gus Badar sadar betul bahwa agama dan negara adalah dua kekuatan yang tak bisa dipisahkan. Ketika Negara dalam kondisi kacau-balau dan tidak stabil, umat tak bisa menjalankan agamanya dengan tenang. Oleh karena itu perlu adanya upaya untuk menjaga keutuhan dan persatuan NKRI tercinta.
Hal ini seperti dawuh Hadrotusy Syaikh Hasyim Asy’ari, “Agama dan nasionalisme adalah dua kutub yang tidak berseberangan, nasionalisme adalah bagian dari agama dan keduanya saling menguatkan.” Pendapat tersebut juga sama dengan apa yang dikatakan oleh Kyai Said Aqil tentang pentingnya memilik rasa nasionalisme dan cinta tanah air, “Barangsiapa yang tidak punya tanah air, maka tidak mungkin punya sejarah. Barangsiapa yang tidak punya sejarah, maka akan terlupakan.” Itu sebab mengapa yel-yel yang digunakan Jaljalut dalam setiap membuka dan menutup sambutan selalu didahului dengan mengobarkan semangat nasionalisme,” NKRI harga mati, sholawat sampai mati, taubat sebelum mati!!!! Tidak berhenti disitu, setiap selesai acara, seluruh jamaah diajak untuk berdiri guna menyanyikan lagu Indonesia Raya secara bersama-sama. Tentu saja menjadi sebuah pemandangan yang sangat menggetarkan.
Kantong Kebudayaan sebagai Jejaring Perjuangan
Kini nama Jaljalut sudah menggema di seantero Trenggalek. Komunitas-komunitas pecinta sholawat-pun semakin banyak bermunculan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya bendera komunitas yang dikibarkan dalam setiap acara Jaljalutan. Jumlahnya hingga mencapai puluhan. Tentu saja berasal dari berbagai kecamatan. Komunitas pecinta sholawan itu diantaranya adalah; Mafia Sholawat, Manja, KPS (Komunitas Pecinta Sholawat), Gotri, Wong Ino Gendheng Sholawat, Jarobat, Gaspol, Loro Ati, Granat, Lare Remen Sholawat (Larsh), Info Salah Tompo, Kabisat, Ganas, Regas, Bapar, Gondo Mayit, Syeker mania, dan Bolo Rosho.
Hal ini tentu saja bisa dijadikan modal penting untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan. Banyaknya komunitas pecinta sholawat yang bermunculan bisa dimanfaatkan sebagai kantong-kantong kebudayaan. Kantong-kantong kebudayaan inilah yang nantinya bisa dimanfaatkan sebagai jejaring perjuangan. Sebab tanpa adanya jejaring yang kuat bisa mengakibatkan kesulitan dalam melakukan pergerakan. Dengan berjejaring hambatan yang ada lebih mudah untuk diselesaikan. Pada akhirnya tujuan perjuangan akan lebih mudah tersebarkan dan pesan-pesannya dapat tersampaikan.
Sekarang, sudah saatnya semua stakeholder sholawatan yang ada harus saling bersinergi dan berjuang bahu-membahu untuk mewujudkan pemuda Trenggalek yang berilmu, beriman, berakhlak, dan menjunjung tinggi semangat nasionalisme bela negara. Semoga!!!
*) Baba Sujjada, penggiat di QLC Trenggalek; Kaum sarungan yang jatuh hati pada gunung, pantai, senja dan Persebaya.
Pernah dimuat di https://literasitrenggalek.wordpress.com
0 komentar :
Posting Komentar