Rabu, 16 Maret 2016

Waktu menujukkan pukul 13.00 WIB. “Akhirnya sampai juga di Kalimati,” teriak Kang Nordman ketika melihat balok kayu yang terpaku di batang pohon cemara bertuliskan ‘ANDA BERADA DI KALIMATI’. “Ternyata dari Ranu Kumbolo tadi, sudah 7,5 KM jarak yang kita tempuh, kang!” sahutku sambil menghitung total jarak tempuh yang terpampang persis di bawah papan informasi bertulisan ‘KALIMATI’. Kalimati merupakan shelter terakhir yang terletak di sebuah padang rumput luas, persis berada di kaki gunung Semeru bagian utara. Kalimati inilah yang biasa digunakan untuk mendirikan tenda para pendaki sebelum melakukan summit attack’ menuju puncak Mahameru.

“Kita istirahat di sebelah bangunan Shelter itu saja ya,” Kang Nordman melangkah maju seolah-olah tak butuh persetujuan dariku. Ia mengeluarkan matras hitam dari dalam ransel carrier-nya dan membebernya di bawah pohon cemara rindang sambil merebahkan tubuh atletisnya, Sepertinya ia sangat kelelahan sehabis memanggul ransel berat yang sekarang sudah berpindah posisi berada dalam dekapan tangannya, sebuah ransel berwarna merah tua yang  menjadi teman setia, dimanapun gunung yang pernah didakinya.

Udara dingin begitu terasa di ketinggian 2.700 mdpl. Angin lembah membelai pelan rambut gondrong Kang Nordman yang asyik tiduran sambil mengunyah roti kering Ransum TNI sisa perjalanan tadi. Aku duduk bersila di sampingnya, memandang sekeliling, terlihat hamparan rumput gersang menguning, di ujung yang lain sekumpulan bunga Edelweis Anaphalis terlihat bermekaran, bunga keabadian lambang cinta dan kasih sayang. Begitu eksotis dalam sunyi ketinggian.

Persis di depanku berdiri tegak gunung Semeru. Gagah menjulang tinggi seakan memanggilku untuk segera menggapai puncak mencumbui pasirnya. Gunung Semeru terlihat dihiasi dua warna yang sangat kontras. Bagian kaki gunung ditumbuhi vegetasi berupa sekumpulan cemara berwarna hijau tua. Sedangkan di atasnya sampai ke puncak yang nampak hanyalah lautan pasir berwarna putih keabuan tanpa vegetasi. Sesekali terlihat gumpalan letusan gunung Semeru,yang  dentumannya begitu keras. Gumpalan gas hasil letusan kawah Semeru yang bernama Jonggring Saloka serupa cendawan raksasa membumbung tinggi di angkasa membentuk formasi wedhus gembel. Benar-benar perpaduan pemandangan yang sangat menakjubkan.

Kang !!!” aku mencoba membuka pembicaraan setelah sesaat hening dengan pikiran masing-masing. “Kelihatan sekali sampean begitu intim dengan ransel merahmu itu, apakah benar kata teman-teman, ransel merah sampean itulah yang menjadi alasan kenapa sampean betah berlama-lama men-jomblo hingga sakarang? Padahal September nanti umur sampean sudah memasuki kepala tiga, apakah tak terbersit keinginan untuk segera naik ke pelaminan seperti teman-teman seangkatannya sampean? Atau jangan-jangan sampean itu bagian dari LGBT yang tak doyan dengan yang namanya perempuan,” candaku setengah mengejek perihal kejombloan akut yang dialami oleh Kang Nordman.

Kang Nordman hanya senyum-senyum menanggapi cercaan pertanyaanku. “Apalah arti pacaran selama masih ada gunung yang bisa didaki? Masih ada ransel merah tua ini yang bisa kusetubuhi?,” Kang Nordman menjawab dengan begitu dinginnya. “Witing tresna jalaran saka kulina, tumbuh cinta karena terbiasa, dan saya rasa rumus tersebut berlaku juga untuk seorang jomblo, ya kurang lebih begitulah yang saya alami sekarang ini, terlanjur nyaman dengan kejombloan saya” lanjut kang Nordman.

“Tapi Kang?” aku mencoba bertanya lebih lanjut perihal kejombloan temanku yang satu ini.

“Jangan tapi-tapian, ayo kita segera berangkat sebelum nanti kemalaman sampai ke Arcapada, tempat nge-camp yang sudah kita rencanakan kemarin,” ujar Kang Normand sambil memasukkan matras hitam ke dalam ransel merah tuanya itu.

Jangan salah sangka! Tampang Kang Nordman tidaklah jelek. Apalagi jika dibandingkan dengan teman-teman seangkatannya yang sudah lebih dulu menikah. Lulusan Sastra Jawa Universitas Indonesia, seorang aktivis LSM, kurang apa coba?

Memang ada yang aneh dengan perlakuan Kang Normand terhadap ransel merah tuanya itu, dan ini diam-diam yang kuamati sejak kemarin waktu awal pendakian di Pos Ranu Pane. Sebelum memanggul ransel merah tuanya itu ke punggungnya, kang Normand selalu mengawalinya dengan melakukan semacam ritual. Memeluk erat dan mencium bagian atas tas ranselnya. Agak lama juga iya menciumnya. Kemarin aku hanya membatin, mungkin ini efek dari status kang Normand sebagai seorang ‘Pendaki solo carrier’ – pendaki jomblo yang kemana-mana hanya berpasangan dengan ransel gunungnya saja.

Kang Normand terlihat begitu menghayati sekali ritualnya itu. Pasti ada rahasia besar yang disembunyikan. Atau jangan-jangan aku-nya saja yang terlalu berlebihan dalam menduga-duga. Dengan kata lain, Kang Normand memang sedang mengalami kelaian akibat dari kejombloan yang telah lama dialaminya tersebut.

Sebenarnya aku sempat mau menanyakan perihal ritual yang selalu dilakukan oleh Kang Normand langsung kepadanya. Tapi niat itu urung aku sampaikan, takut kalau pertanyaanku akan menyakiti hatinya.

“Heiii …. Kenapa dari tadi kamu bengong saja?” teriak Kang Normand membuyarkan lamunanku saat perjalanan Kalimati menuju Arcapada.

“Kalau sudah di gunung kita harus fokus, jangan sampai pikiran kosong, biar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan,” ujar Kang Normand menasehatiku.

“Sekarang kita sudah sampai di batas akhir Kalimati, di sinilah pendakian kita benar-benar dimulai, di depan kita sudah berdiri gunung Semeru, gunung suci yang dikeramatkan dan dianggap tempat bersemayamnya para Dewa. Sebaiknya kita berdoa terlebih dahulu sebelum memasuki tempat yang kata banyak orang memiliki aura magis yang sangat tinggi ini,” kata Kang Normand sambil menoleh kearahku.

Selesai berdoa kami berdua melangkah menuruni lereng yang cukup curam bekas aliran lahar di masa lalu. Bekas aliran lahar inilah yang memisahkan Kalimati dengan Gunung Semeru. Di pintu masuk gunung Semeru, kami disambut belantara hutan yang dipenuhi oleh pepohonan cemara. Jalan yang kami lalui begitu terjal, bahkan sampai harus menaiki dan menuruni akar-akar besar yang menghadang di perjalanan.

Benar apa yang dikatakan oleh Kang Normand tadi, gunung Semeru menyimpan sejuta aura magis. Berulang kali terdengar suara longsoran dari kanan-kiri jalan yang kami lalui. Jalur yang kami lalui merupakan punggungan bukit dimana kanan dan kiri adalah jurang-jurang yang sangat dalam. Tanah yang labil penuh debu pasir dan rawan longsor memaksa kami untuk konsentrasi penuh agar tak sampai terperosok ke dalam jurang.

Medan pendakian Kalimati-Arcapada semakin angkuh. Jurang menganga sejarak dua meter dari jalur pendakian semakin membuat kami miris. Detak jantungku semakin berdegup kencang seiring dengan langkah kaki yang menapak pelan sangat berhati-hati.

“Break dulu Kang !!!” teriakku pada Kang Normand yang sudah beberapa langkah meninggalkanku di depan.

“Ok, kita istirahat di akar besar itu saja,” jawab kang Normand sambil menunjuk ke arah pohon besar sekitar 50 meter di depanku.

It’s always further than it looks. It’s always taller than it looks. And it’s always harder than it looks. Selalu lebih jauh, lebih tinggi, dan lebih sulit dari yang terlihat,” kalimat kang Nordman membuka percakapan mengutip 3 Rule of Mountaineering.

“Betul sekali kang, ternyata benar kata sampean, kegiatan mountaineering bukan hanya sekedar kegiatan bersenang-senang di alam bebas belaka. Ini merupakan sebuah perjalanan spiritual. Sekarang aku dapat merasakan sendiri, betapa kecil sekali diri ini di hadapan semesta raya,” sahutku sambil meneguk air putih yang baru saja kuambil dari dalam ransel.

“Iya, seperti halnya kata Edmund Hillary yang mengatakan bahwa ‘it is not the mountain we conquer but our selves’, bukan gunung yang harus kita taklukkan, melainkan diri kita sendiri. Jadi jangan pernah menyombongkan diri bisa menaklukkan sebuah gunung, yang bisa kita lakukan hanyalah berjalan menyusuri setiap punggungannya sambil berharap menjadi manusia beruntung yang bisa menggapai puncaknya,” kata Kang Nordman menimpali. “Mari kita lanjutkan perjalanan, Arcapada sudah dekat di depan situ,” lanjutnya.

Perjalanan kami lanjutkan, jalur pendakian masih belum bersahabat, tak jarang kami berdua harus merayapi terjalnya medan.

15 menit berselang, keterjalan medan menghilang, debu-debupun tak lagi menghadang, tak jauh di seberang terdengar sayup-sayup gelak tawa pendaki gunung. Langkah kakipun semakin kupercepat menapak menuju sumber suara.

Tiba-tiba di balik pepohonan muncullah dua pasang tenda yang sudah terpasang, berdiri pada kontur tanah yang sengaja dibuat bertingkat-tingkat.

“Selamat datang di Arcapada!!!” lima orang yang sedang bersantai di depan tenda menyambut kedatangan kami berdua. Aku dan Kang Nordman berjalan menghampiri mereka berlima dan menyalaminya satu persatu sebagai tanda persahabatan. Setelah basa-basi sebentar, kami meminta ijin kepada mereka untuk mendirikan tenda di sampingnya, di ketinggian 2.900 Mdpl.

                                                                        ****
Waktu menunjukkan pukul 01.00 WIB. Di remang pagi, terlihat Kang Nordman sibuk  mempersiapkan diri untuk summit attack menuju puncak Mahameru. Tak lupa ia mengecek logistik, yang sudah tertata rapi dalam daypack-nya. 1 botol aqua ukuran 1500 ml, 4 potong roti tawar kering, madu, dan tak lupa 1 tabung oksigen.  Kang Nordman telah memberi kode siap, pertanda logistik sudah aman terkendali. Aku pun pergi mendekat ke arahnya. Kami berdua berdoa kepada Tuhan YME, semoga diberi kemudahan dan keselamatan untuk menggapai keindahan ciptaan-Nya.

Headlamp, jaket tebal, celana gunung, dan sarung tangan tebal sudah melekat di badan. Pemberangkatan menuju puncak Mahameru segera dimulai. “Tunggu sebentar,”ucap Kang Nordman lirih. Ia berjalan pelan masuk ke dalam tenda, seperti biasanya, ia selalu melakukan ritual sebelum memulai perjalanan. Apalagi kalau bukan memeluk dan mencium tas ransel besar merah tuanya itu. Tapi untuk kali ini, ransel tersebut mau tidak mau harus ditinggalkan di dalam tenda. Tak mungkin menapaki lereng terjal berpasir dengan kemiringan sampai 60 derajat sambil membawa ransel seberat itu.

Tergambar jelas kesedihan di raut wajah Kang Nordman ketika harus menghadapi kenyataan, meninggalkan ransel merah tuanya. Diambilnya selembar kertas dari kantong samping ranselnya itu. Tak seperti biasanya, kali ini Kang Nordman terlihat begitu emosional dengan ransel merah tuanya. Dipeluk dan diciumnya erat sekali lagi hingga tak sadar air matanya jatuh bercucuran.

Aku memberanikan diri bertanya kepadanya,”Sebenarnya ada apa dengan ransel merah tuanya sampean itu Kang?”

Sambil menyeka tetes air mata, Kang Nordman berkata lirih,” Mungkin selama ini kamu dan teman-teman menganggap saya ini sebagai seorang yang aneh. Memeluk dan menciumi ransel tua ini layaknya sebagai seorang kekasih. Tak mengapa, kalian memang tidak pernah tahu bahwa hal ini menyangkut kejadian pilu 6 tahun yang lalu. Sekarang ayolah kita berangkat dulu, nanti di tengah perjalanan saya tunjukkan ada apa dengan kisah ransel merah tua ini.”

Perjalanan pun kami mulai. Trek yang kami lalui masih hampir sama dengan jalur Kalimati-Arcapada kemarin. Jalan setapak berdebu. Sorot headlamp kami menembus kegelapan belantara malam. Sejak kejadian sendu di Arcapada beberapa saat yang lalu, di perjalanan, aku dan Kang Nordman lebih banyak diam, sibuk dengan pikiran masing-masing.

Di depan batas vegetasi terlihat begitu jelas. Batas yang memisahkan antara lereng Semeru yang masih ditumbuhi oleh tanaman dan lereng Semeru tanpa tanaman dengan hamparan lautan pasir putih keabu-abuannya.

Tiba-tiba Kang Nordman menghentikan langkahnya. Sorot headlampnya diarahkan ke kanan. Nampaknya ia hafal betul dengan lokasi ini. Ia berjalan keluar dari jalur pendakian, memutar ke arah kanan. Aku mengikutinya dari arah belakang. Dan kali ini sorot headlampnya tepat mengarah menuju sebuah plakat yang terbuat dari marmer putih. Aku penasaran, plakat tentang apakah itu? Mungkinkah plakat petunjuk jalan atau sebuah prasasti, yang jelas aku tak tau pasti. Jarakku semakin dekat dengan plakat itu, tulisannya semakin kelihatan dan bisa terbaca, dan “Astagaaaa …..,” aku terkejut membaca tulisannya. Plakat itu bertuliskan;
“ IN MEMORIAM Moch. Soegiharjono (Jono) dan Taufik P Ganifianto (Khelik), 11 Januari 1984, EX BHAWIKARSU X 4 MALANG”. Ternyata sebuah plakat kematian. Seketika itu, bulu kudukku berdiri tanpa terkontrol lagi.

Tapi di mana Kang Nordman tadi? Aku terlalu fokus terhadap plakat kematian ini hingga tak sadar kemana Kang Nordman pergi.

Terlihat samar Kang Nordman sedang bersimpuh di samping plakat yang juga berwarna putih. “Plakat apakah itu?” batinku dalam hati. “Jangan-jangan itu plakat kematian seperti yang itu tadi?” aku semakin penasaran.

Aku mendekat ke arah Kang Nordman. Sorot headlamp ku arahkan ke plakat putih di samping Kang Nordman. Terlihat jelas tulisan di plakat itu; “Jejakmu tertinggal di sini,senyummu kubawa pergi” di bawahnya tertulis nama Easthi (Agustus 2009).

“Siapakah gerangan perempuan ini? Ada hubungan apakah dengan Kang Nordman?” pikiranku dihinggapi berbagai macam jenis pertanyaan.

Kang Nordman terlihat khusyuk melantunkan doa-doanya. Dikeluarkan selembar kertas putih yang dibawanya semenjak dari Arcapada tadi. Ia membuka lipatan kertasnya dan membaca lirih;

MAHAMERU
Yang mencintai udara jernih
Yang mencintai terbang burung-burung
Yang mencintai keleluasaan & kebebasan
Yang mencintai bumi

Mereka mendaki ke puncak gunung-gunung
Mereka tengadah & berkata, kesana-lah Easthi pergi
Kembali ke pangkuan bintang-bintang

Sementara bunga-bunga negeri ini tersebar sekali lagi
Sementara saputangan menahan tangis
Sementara Desember menabur gerimis


Aku tak asing dengan puisi ini. Bukankah ini puisinya Sanento Yuliman yang dibuat khusus untuk mengenang kepergian Soe Hok Gie dan Idhan Lubis?

Aku terperanjat tatkala Kang Nordman menepuk pundakku dari belakang,”Di sini, enam tahun yang lalu, kekasih yang sangat aku cintai, Easthi, menghembuskan nafas terakhirnya. Dan tahukah kamu tentang ransel merah tua yang biasa kupeluk dan kuciumi itu? Ialah bagian dari diri Easthi yang masih bisa ku miliki sampai sekarang ini.”

Duuuuaaarrrrrr ….. aku masih belum begitu percaya dengan apa yang kudengar barusan. Jadi kejombloan Kang Nordman selama ini tidaklah seperti yang aku dan teman-teman bayangkan. Berdosa sekali aku selama ini yang mengatakan Kang Nordman mengalami kelainan yang diakibatkan oleh kejombloan akut yang dialaminya hingga sekarang.

Aku jadi teringat perkataan Sir Martin Convay; Each fresh peak ascended teaches something, setiap puncak yang baru didaki selalu mengajarkan sesuatu. Dan kali ini aku belajar banyak kepada Kang Nordman, seorang sahabat yang telah mengajariku akan arti cinta dan kesetiaan.

Setiap kejombloan pastilah ada alasan. Dan cinta Kang Nordman bisa kujajarkan dengan cinta Chairil Anwar kepada Aryati, cinta Khalil Gibran kepada Selma Karamy. Nampaknya Kang Nordman memilih jalan cinta yang sunyi seperti halnya Umbu Landu Paranggi.




0 komentar :

Posting Komentar