Jumat, 10 Juni 2016

Image result for buku pendidikan kaum tertindasPaulo Freire lahir pada 19 September 1921 di Recife, sebuah kota pelabuhan di Brasil yang terletak pada bagian timur laut negara tersebut. Wilayah Recife dapat dikatakan sebagai wilayah yang terbelakang dan identik dengan kemiskinan. Sejak kecil Paulo Freire sudah terbiasa hidup dan bersosialisasi bersama “kaum-kaum tertindas”, dan berkat pergumulan sosialnya yang sangat panjang bersama “kaum-kaum tertindas” itulah terciptalah sebuah buku yang berjudul “Pedagogy of the Oppressed” atau kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai “Pendidikan Kaum Tertindas”. Paulo Freire berharap lewat halaman-halaman buku “Pendidikan Kaum Tertindas” yang dia ciptakan ini dapat melestarikan hal-hal berikut: “keyakinannya kepada rakyat jelata, keyakinannya kepada manusia, dan kepada penciptaan sebuah dunia tempat manusia dapat lebih mudah mencintai sesamanya”, (hal. 9). Pendek kata, buku “Pendidikan Kaum Tertindas” ini  diciptakan sebagai salah satu refleksi kritis untuk mencapai humanisasi dimana suatu tatanan yang ada dapat memanusiakan manusia dalam arti sepenuhnya.
Buku “Pendidikan Kaum Tertindas” ini  dibagi menjadi 4 bab. Bab pertama berbicara mengenai pentingnya pendidikan bagi kaum tertindas. Untuk menyadarkan kaum tertindas tentang betapa pentingnya merebut kembali hak-hak mereka yang telah dirampas oleh para penindas, maka dibutuhkan  suatu pendidikan bagi “kaum-kaum tertindas”. Dengan adanya pendidikan ini, diharapkan kaum tertindas dapat mengetahui situasi yang mereka hadapi sekarang. Menurut Paulo Freire, pendidikan kaum tertindas sebagai pendidikan para humanis dan pembebas, terdiri dari dua tahap. “Pada tahap pertama, kaum tertindas membuka tabir dunia penindasan dan melalui praksis melibatkan diri untuk mengadakan perubahan. Pada tahap kedua, dimana realitas penindasan itu sudah berubah, pendidikan ini tidak lagi menjadi milik kaum tertindas tetapi menjadi pendidikan untuk seluruh manusia dalam proses mencapai kebebasan yang langgeng”, (hal 27-28). Dari kedua tahap tersebut, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa Paulo Freire ingin mengajarkan kepada masyarakat agar berjuang untuk membebaskan diri dari kaum penindas tetapi kemudian memanusiakan kaum penindasnya, dan tidak berlaku menjadi penindas ketika kaum tertindas berhasil mengambil alih kekuasaan. Karena keadaan tidak akan menjadi lebih baik ketika kekuasaaan hanya berpindah kutub. Agar tidak berbalik menjadi penindas maka kaum tertindas yang berjuang harus dibekali paradigma tentang kemanusiaan dan keadilan. Nilai-nilai humanis yang harus dikembangkan dalam pendidikan, agar pendidikan dapat membawa perubahan ke arah yang lebih baik dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.
Pada bab dua, Paulo Freire menbicarakan tentang proses pendidikan yang dialami oleh “kaum-kaum tertindas” selama ini. Paulo Freire mengatakan, “pendidikan yang dialami oleh “kaum-kaum tertindas” selama ini tak ubahnya seperti pendidikan dengan “sistem bank”. Dalam pendidikan “sistem bank”, dimana ruang gerak yang disediakan bagi kegiatan para murid hanya terbatas pada menerima, mencacat, dan menyimpan”, (hal 52). Guru merupakan subyek yang memiliki pengetahuan yang diisikan kepada murid, sedangkan murid hanya sebuah deposit belaka. Sangat jelas sekali pendidikan seperti ini tak ubahnya adalah suatu penindasan terselubung terhadap kreatifitas murid, murid dituntut untuk mengikuti jalan pemikiran guru tanpa diberi kesempatan untuk berpikir kritis dalam memecahkan suatu masalah yang ada. Untuk lepas dari penindasan gaya pendidikan “sistem bank”, Paulo Freire memberikan suatu alternatif baru yaitu dengan suatu metode yang diberinya nama metode “pendidikan hadap masalah”. “Pendidikan yang membebaskan berisi laku-laku pemahaman (acts of cognition), bukannya pengalihan-pengalihan informasi. Dia merupakan sebuah situasi belajar di mana obyek yang dapat dipahami (sama sekali bukan titik akhir dari dari laku pemahaman) menghubungkan para pelaku pemahaman, guru di satu sisi dan murid di sisi lain, (hal 64).
Dalam bab 3 Paulo Freire menjelaskan betapa pentingnya adanya dialog di dalam pendidikan kaum tertindas. “Jika dalam mengucapkan kata-katanya sendiri manusia dapat mengubah dunia dengan jalan menamainya, maka dialog menegaskan dirinya sebagai sarana di mana seseorang memperoleh makna sebagai manusia, (hal 77). Dengan adanya dialog diharapkan tidak ada lagi keadaan dimana  satu orang aktif  “menabungkan” gagasannya kepada orang lain, sementara yang lain cuma pasif menerima apa yang diberikan orang lain kepada dirinya.
Pada bab terakhir, Paulo Freire coba membandingkan antara model pendidikan antidialogis dengan model pendidikan dialogis. Model pendidikan antidialogis selalu ditandai dengan usaha menguasai manusia, sedangkan model pendidikan dialogis selalu bersifat kooperatif. Di dalam buku “Pendidikan Kaum Tertindas” ini desebutkan bahwa, teori-teori tindakan antidialogis dikenal istilah-istilah seperti penaklukan, pecah dan kuasai, manipulasi, dan serangan budaya. Sedangkan teori-teori tindakan dialogis dikenal istilah-istilah seperti kerja sama, persatuan untuk pembebasan, organisasi, dan sintesa kebudayaan.

Walau latar belakang buku “Pendidikan Kaum Tertindas” ini berada di Brasil, akan tetapi  isi dari buku ini masih relevan untuk diterapkan di Indonesia. Karena yang kita ketahui, praktek-praktek pendidikan  “gaya bank” masih sering sekali terjadi di Indonesia. Kelebihan buku ini terletak pada tulisan-tulisannya yang mempunyai “nyawa”, mungkin hal ini dikarenakan buku ini ditulis dari pengalaman langsung sang penulis, sehingga bisa membuat pembaca merasa mengalami secara langsung kejadian-kejadian yang dihadapi oleh penulis. Sedangkan kekurangan dari buku ini mungkin dari gaya bahasanya yang agak berat, sehingga terkadang untuk memahami satu alenia harus diulang berkali-kali.
13181178_10209536089749317_1105513551_n
(c) Baba Sujjada
Banyak yang penasaran dengan sosok manusia yang mendadak terkenal ini. Ahmad Jaini namanya. Akhir-akhir ini, meme dan photonya sering berseliweran di grup-grup medsos Trenggalek, terutama grup IST (Info Salah Tompo). Namanya sering disebut-sebut sebagai bahan becandaan. Akun kloningan yang mengatasnamakan namanya pun semakin banyak bertebaran. Akun “@Jaini” dan “@Leonardo de Jaini” salah satunya. Entah siapa pemiliknya, dan apa juga motif tujuaannya. Saya tak begitu tertarik menyelidikinya, apalagi harus sampai repot-repot menyewa detektif untuk membongkarnya. Biar Tuhan saja yang mengetahuinya.
Mungkin ada yang menganggap ini adalah sebuah pelecehan, atau setidaknya sebagai bentuk penghinaan! Terhadap hak dan privasi seseorang. Tapi tidak bagi kami kaum ‘prapatan’. Orang-orang yang sering berinteraksi langsung dengannya. Ini adalah bentuk pembelajaran. Bagaimana cara kita memandang kehidupan. Yang pernah Ahmad Jaini ajarkan.
Di dunia nyata, kami begitu menghormatinya, teramat sayang padanya. Bahkan banyak berguru kepadanya. Ini sungguhan! Dialah makhluk istimewa yang diturunkan Tuhan, di tengah-tengah manusia yang gemar bertengkar. Manusia-manusia yang terlalu serius memikirkan ruwet kehidupan. Hingga kehilangan humor-humor menyegarkan.
“Hilik’an Kang!!!”, itulah kata-kata segar yang sering keluar dari mulut Ahmad Jaini. Kata-kata yang keluar saat ia merasa dijahili oleh seseorang. Tak tersirat sedikitpun kemarahan. Ahh…. Mungkin tak lagi tersisa ruang kebencian di hatimu, Kang!!! Dengan tawa khasmu, kau telah menohok orang-orang yang mengaku dirinya waras itu, padahal ya sejatinya edan!!!
Mungkin saja banyak orang yang belum tahu keistimewaan Ahmad Jaini. (Ahh … kenapa kau terlalu polos, Kang!!! Hingga lupa cara mencitrakan dirimu dihadapan orang-orang). Ini cerita nyata. Mungkin hanya segelintir orang saja yang mengetahuinya. Ada seorang kiai besar. Tulungagung rumahnya. Beliau begitu sayang sama Ahmad Jaini. Seringkali Ahmad Jaini diajaknya ‘dolan-dolan’. Dibonceng mengendarai sepeda motor. Bahkan pernah diajak pula ke acara kondangan. Coba saja bayangkan!!!! Seorang kiai besar. Memiliki strata sosial tinggi di masyarakat. Rela membonceng sendiri Ahmad Jaini. Mengajaknya pergi ke kondangan. Layaknya seorang sahabat sepertemanan. Bayangkan!!! Kurang istimewa apa coba Ahmad Jaini ini?
Oh iya. Ahmad Jaini juga terkenal sayang terhadap anak-anak. Setiap anak kecil yang ditemui, selalu saja diakui sebagai adiknya. “Kuwi adikku,” begitulah katanya. Seringkali ia memberi apa saja yang dimiliknya, kepada anak-anak kecil disekitarnya. Bahkan suatu saat pernah membeli 2 bungkus mie instan. Lalu menyuruh saya untuk memasakkannya. Katanya mau dikasihlan kepada ‘adik’-nya, yang tak lain adalah keponakan saya sendiri.
Berbicara soal dia yang gemar memberi, kira-kira dari mana Ahmad Jaini mendapakat duitnya? Saya tak tau pasti dari mana sumber pendapatannya. Yang jelas dia jujur orangnya. Tak pernah mengambil barang yang bukan menjadi haknya. Bahkan ketika ditawari makanan, ia sering menolaknya. Bukan karena apa-apa. Karena ia merasa sedang tidak membutuhkannya. Berbeda kalau ia sedang membutuhkan. Tanpa ditawari ia akan meminta. “Buk, aku luwe,” begitulah pintanya terhadap rumah-rumah yang sering menjadi tempat ‘persinggahan’-nya. Di sinilah hebatnya. Ahmad Jaini hanya meminta ketika ia sedang membutuhkan saja. Berbeda dengan orang-orang serakah yang mengaku-ngaku sebagai manusia. Tak pernah berhenti untuk memuaskan nafsu ambisinya.
Kalau boleh menebak, mungkin saja pendapatan utamanya berasal dari hasil ‘Nyatpam’-nya di prapatan Salah Tompo. Biasanya pada sore dan malam hari. Itupun tak dilakukan setiap hari. Berbekal sempritan di tangan, ia meniup keras-keras sempritannya setiap lampu merah menyala. Mengasih kode agar mobil-mobil tak menerobos rambu-rambu yang ada. Kemudian, ia berjalan mendekati pintu jendela mobil, menyapa pengemudi dan penumpang di dalamnya, siapa tau ada sedikit iba padanya.
Tapi, seringkali masih berseliweran para setan-setan jalanan. Tak menghiraukan aba-aba dari Ahmad Jaini. Berjalan kencang menerobos rambu-rambu yang ada. Kalau sudah begini, Ahmad jaini hanya bisa ‘misuh-misuh’,”Kurang ajar!!!! Hilik’an kang!!!”.
Berbicara soal Ahmad Jaini memang tak pernah ada habisnya. Kopyah, Baju Takwa, dan Sarung sudah menjadi identitasnya dalam berpakaian. Kalau sedikit lebih teliti, kalian pasti akan ‘ngeh’ kalau selama ini Ahmad Jaini selalu menenteng tas di tangan kanannya. Mungkin kalian penasaran apa yang dibawanya? Saya kasih bocorannya saja ….. Yang dibawa adalah kitab Iqro’, kaset takbiran, sholawatan, dan satu lagi yang tak ketinggalan, kaset jaranan!!!! Gak tahu juga, kenapa yang dibawa selalu saja itu.
Tapi yang saya tahu, Ahmad Jaini sangat suka dengan yang namanya takbiran. Setiap ketemu saya, selalu saja tanya kapan waktunya takbiran. “Ba, tekbire sek suwi?” Tentu saja ini bukan hanya ‘abang-abang lambe’ saja. Karena setiap malam takbiran, dia bisa mengumandangkan takbir hingga waktu subuh menjelang. Sendirian. Tanpa rasa kantuk yang menyerang. Hebat, bukan?
Kehebatannya mungkin semakin afdhol kalau kita mengetahui bahwasanya dia adalah seorang pengembara sejati. Dia ada di mana saja. Kadang di pasar Pon Trenggalek, kadang  di perempatan Durenan, kadang juga di pasar Wage Tulungagung. Banyak cara dia bermobilisasi. Terkadang naik bus, jalan kaki, bahkan naik ojek segala!!! Tentu saja, banyak kondektur dan tukang ojek yang mengenalnya. Mereka juga gak segan-segan mengantarkan Ahmad Jaini sampai tempat tujuannya. Karena mereka tahu, Ahmad Jaini selalu membayar jasa mereka dengan uang. Meskipun recehan.
Kini Ahmad Jaini sudah melabuhkan pengembaraannya. Prapatan Salah Tompo-lah menjadi pilihannya. Prapatan dengan segala dinamikanya, kini menjadi area kekuasaanya. Kalau jalanan Malioboro memiliki presiden bernama Umbu Landu Paranggi, maka Prapatan Salah Tompo memiliki presiden yang bernama Ahmad Jaini!!!
Tetap semangat, walau hidup terkadang hilik’an!!! “In Ahmad Jaini we all trust ….!” (*)
*) Baba Sujjada, pegiat Literasi di Quantum Litera Center (QLC); penyuka mbolang  terutama naik gunung.
Pernah dimuat di https://literasitrenggalek.wordpress.com
13162035_10209526473068906_46304945_n
(c) Baba Sujada
Bagi masyarakat Kecamatan Gandusari dan sekitarnya, tentu sudah tak asing ketika mendengar nama gunung Kuncung. Gunung yang terletak di sebelah timur bukit Banyon ini memiliki ketinggian 322 mdpl (meter di atas permukaan laut). Sebenarnya jika ditilik dari ketinggian, gunung Kuncung ini masih masuk dalam kategori bukit. Sebab menurut Encyclopædia Britannica, gunung haruslah memiliki puncak dengan ketinggian 2000 kaki (610 mdpl). Tapi masyarakat sekitar situ terlanjur menyebut bukit Kuncung ini dengan sebutan gunung Kuncung. Gunung Kuncung merupakan salah satu pegunungan kapur yang ada di selatan Trenggalek.
Secara geologis, menurut Van Bemmelen (penulis buku ‘The Geology of Indonesia’), gunung Kuncung (dan pegunungan kapur lainnya di selatan Trenggalek) merupakan lanjutan dari pegunungan Seribu atau gunung Sewu yang membujur mulai Parangtritis hingga ke Pacitan. Berhubung sebagai kelanjutan pegunungan Sewu, tentu saja gunung Kuncung memiliki karakteristik berbeda dengan pegunungan Seribu. Dimana Van Bemmelen menjelaskan lebih lanjut bahwa wilayah antara Pacitan sampai pantai Popoh (disini termasuk gunung Kuncung), selain tersusun oleh batuan kapur (limestone) juga tersusun oleh aktifitas vulkanis berkomposisi asam-basa antara lain granit, andesit, dan dasit. Hal inilah yang menjadikan gunung Kuncung yang tersusun dari batuan kapur masih baik digunakan untuk lahan pertanian tentu saja karena kandungan mineral-mineral vulkanik yang sifatnya menyuburkan.
13153426_10209526472748898_1750435742_n
(c) Baba Sujada
Di waktu pagi, gunung Kuncung menawarkan panorama matahari terbit yang menakjubkan. Lebih indah dari bukit Banyon yang ada di sebelah baratnya. Kenapa kok lebih indah? Bila bukit Banyon mempunyai lereng yang menghadap ke utara, maka gunung Kuncung ini mempunyai lereng menghadap ke arah timur. Berhadap-hadapan langsung dengan arah terbitnya matahari. Dimana matahari menyembul nun jauh di ufuk timur, bersebelahan dengan gunung Budheg, memancarkan semburat jingga yang menerpa kabut hasil dari kondensasi udara adveksi pagi hari.
Secara administratif gunung Kuncung masuk ke dalam wilayah desa Sukorame, kecamatan Gandusari. Tak sulit menemukan lokasi gunung Kuncung. Dari pasar desa Sukorame langsung saja menuju ke arah selatan. Sampai perempatan pertama ambil arah kanan, lurus, hingga sampai pemakaman Watudukun. Sesampai di pemakaman desa ini, ambil arah kiri, naik ke atas bukit menuju ke selatan. Ada dua pilihan untuk naik ke puncak gunung Kuncung. Jalan kaki atau naik sepeda motor. Tapi sangat disarankan untuk jalan kaki. Sebab, selain jalannya banyak yang rusak parah, di atas juga tidak ada permukiman penduduk dan penitipan sepeda motor. Biasanya motor di titipkan di rumah penduduk sebelah timur makam Watudukun.
Puncak gunung Kuncung dulunya digunakan sebagai pemancar ‘repeater’ televisi. Jalan beraspal dibangun mulai jalan desa hingga ke pucuk gunung. Seiring tidak difungsikannya pemancar ‘repeater’ televisi di puncak gunung Kuncung, kondisi jalan menjadi rusak tak terurus lagi. Di sana-sini nampak lapisan aspal mengelupas menyisakan kerikil-kerikil tajam, menjadikan jalur yang ada tak ubahnya seperti jalan makadaman. Untuk menuju ke puncak bekas pemancar ‘repeater’ televisi diperlukan waktu sekitar 30 menit dengan jalan kaki. Menempuh jarak sekitar 1,5 Km. Perjalanan tak terasa begitu melelahkan, karena di sepanjang jalan kita akan berpapasan dengan para petani yang sedang mengurus ladang kacang. Memanfaat lahan kosong di kanan-kiri bahu jalan. 
Seperti halnya masyarakat pedesaan pada umumnya, mereka begitu ramah, walau sebelumnya tak pernah saling kenal. Di ujung jalan aspal, atau lebih tepatnya jalan makadaman, kita akan menemukan jejeran gedung tua yang tak lagi terurus. Atapnya sudah dibongkar, hanya menyisakan puing-puing tembok yang ditumbuhi oleh ilalang. Ada tiga bangunan utama. Itulah bekas kantor pemancar ‘repeater’ televisi yang tak lagi digunakan.
Menara bekas pemancarnya sudah hilang dibongkar, yang tersisa hanyalah kesan seram, sangat cocok digunakan untul lokasi syuting acara ‘Uji Nyali’. Walau berada di puncak, lokasi bekas pemancar ini bukanlah ¬spot terbaik untuk melihat matahari terbit. Untuk mencapai spot terbaik itu kita harus berjalan sekitar 500 m ke arah timur laut atau sebelah kanan dari lokasi pemancar. Dari sini jalanan tak lagi beraspal. Yang ada hanya jalan tanah setapak dengan padang rumut di kiri-kanan. Perjalanan menuju spot matahari terbit ini terasa sangat menyenangkan. Hamparan rumput hijau bak padang savana diselingi pohon-pohon berkayu besar (tak tahu nama pohonnya) dengan formasi yang tak begitu rapat menghasilkan sebuah konfigurasi yang apik dipandang mata. Bebatuan bawah laut yang terangkat ke permukaan hasil dari proses geologi jutaan tahun lalu, berserakan di antara rerumputan, seolah-olah menjadikan kita sedang berada di sebuah ‘stone garden’. Sekitar 10 menit perjalanan sampailah kita pada spot yang dimaksudkan.
13187868_10209526473508917_910497658_n
(c) Baba Sujada
Spot ini berupa dataran rumput lapang seperti halnya padang savanna yang cukup luas. Lokasinya sangat cocok digunakan sebagai bumi perkemahan, karena tempatnya begitu landai tak begitu curam. Dari sini terkadang kita bisa melihat ayam alas yang berseliweran di antara celah-celah bebatuan atau anjing hutan yang sesekali terlihat lewat di kejauhan.
Hal ini menunjukkan bahwa rantai makanan di tempat ini masihlah tetap terjaga. Kicauan burung-burung, hembusan angin sepoi-sepoi, serta sunyinya alam pegunungan yang jauh dari permukiman akan membuat kita betah berlama-lama dan enggan untuk meninggalkan tempat yang begitu mendamaikan ini. Ketika malam menjelang, hamparan lampu perkotaan tersuguh di hadapan mata kita. Bila beruntung, kita dapat menyaksikan fenomena ‘moon rise’ yang tersembul dari balik perbukitan.
Tempat ini juga sangat cocok bagi kalian yang menyukai astrofotografi atau fotografi langit malam. Dalam sunyi dan gelap kalian dapat menyaksikan ribuan bintang-gemintang yang menghiasi langit malam. Kalau ketemu waktu yang pas, tentu saja kalian dapat memotret gugusan ‘milky way’ atau galaksi bima sakti yang begitu menakjubkan itu. Indah, bukan?(*)
*) Baba Sujada, pegiat literasi di Qlc dan penyuka Gunung
Pernah dimuat di https://literasitrenggalek.wordpress.com
13318490_10209685001792025_1161767525_n
Oleh: Baba Sujjada*)
Ora usum gelut usume Jaljalut!!! Ora usum gelut usume Jaljalut!!! Begitulah jargon yang berkumandang disetiap penampilan kelompok Jaljalut Trenggalek.
Jaljalut adalah kepanjangan dari Jamaah Lintas Jalanan Satu Tujuan. Komunitas ini merupakan salah satu majelis dzikir dan sholawat yang mempunyai segmen khusus, yakni menyasar kaum muda. Berhubung sasarannya kaum muda, tentu saja strateginya haruslah berbeda. Maka jangan kaget apabila di setiap penampilan panggung Jaljalut selalu dipadati oleh pemuda berkaos oblong, seolah-olah sedang mau berangkat menonton konser musik metal atau kesenian jaranan.
Jangan berharap ada baju koko dan kopyah putih. Kaos berwarna hitam sudah menjadi seragam dan ciri khasnya. Memang menjadi terkesan urakan. Tapi urakan tak selalu berarti nakal dan membuat kerusakan. Buktinya WS. Rendra-pun membuat komunitas ‘Kaum Urakan’ untuk melawan segala macam bentuk penindasan yang berlindung di balik topeng-topeng kemunafikan.
Lagi pula hitam tak selamanya menjadi simbol kekotoran. Pun begitu juga sebaliknya, putih tak selamanya menjadi simbol kesucian. Sunan Kalijaga-pun lebih suka memakai pakaian berwarna hitam. Menurut kanjeng sunan, hitam akan mengingatkan pada semua dosa dan kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan. Ketika muncul kesadaran akan dosa dan kesalahan, disitulah proses penyucian dilangsungkan. Hitam bukannya kelam. Hitam itu menyucikan.

Jaljalut Trenggalek merupakan wadah yang dibentuk sebagai media perlawanan dan penyadaran. Perlawanan terhadap budaya profan ciptaan kaum kapitalis yang menggerus nilai-nilai luhur spiritual dan perlawanan terhadap kelompok-kelompok yang ingin memecah-belah persatuan nasional. Selain itu digunakan sebagai sarana penyadaran tentang bagaimana seharusnya umat beragama memiliki sikap ‘welas asih’  terhadap sesama makhluk Tuhan. Tujuan tersebut coba diraih melalui jalur kebudayaan. Bukan dengan jalan pemaksaan atau malah kekerasan. Seperti halnya yang pernah Walisongo ajarkan.

Ketika budaya hedon merajalela dikalangan kaum muda, disitulah Jaljalut menempatkan dirinya. Merangkul siapa saja tidak peduli apapun latar belakangnya. Walaupun Jaljalut sendiri terlahir dari rahim pesantren, tetapi jamaahnya tidak terbatas pada kaum sarungan. Jamaah Jaljalut banyak juga yang berasal dari kaum abangan. Banyak pemuda warung kopi bahkan tak jarang dijumpai pemuda tatto-an.
Jaljalut mencoba menerapkan dakwah dengan cara bil mauidhoh hasanah. Bukan dengan cara menghakimi dengan memberi vonis bersalah. Hal ini sesuai dengan dawuh­-nya Gus Mus, bahwa dakwah itu mengajak, bukan memarahi dan memusuhi. ‘Ud’u ila sabili robbika bilhikmati wamauidzotil hasanah (Ajaklah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan tutur yang baik).
Metode dakwah egaliter yang jauh dari kesan eksklusifitas ternyata tidak hanya mendapatkan tempat di kalangan kaum muda saja. Metode dakwah model ini ternyata mampu menyampaikan pesan-pesan sampai meresap hingga ke dalam dada. Buktinya banyak sekali saya jumpai, pemuda yang awalnya suka mabuk-mabukan berangsur-angsur meninggalkan kebiasaannya. Seperti yang dicurhatkan oleh pemuda dengan akun @J-takankubiarkan Otakkusadar di dalam grup facebook Jaljalut Trenggalek, “Pesene bapakku 4.5 tahun kapungkur, seng uwis yo uwis le ….ojo kok lakoni eneh …. Kowe ki wes gedi, wes mikir endi sing salah endi sing bener. Sing uwis didadekne pengalaman gawe sing urung, ben kowe iso luwih becik.” Nampaknya ia menyesal dengan perbuatan masa lalunya dan bertekad untuk menjadi manusia yang lebih baik lagi kedepannya.
Memang, diberbagai kesempatan, Gus Badar (Pimpinan Jaljalut Trenggalek) selalu berpesan kepada jamaah Jaljalut agar selalu belajar untuk berbakti kepada kedua orang tua dan para guru. Jangan sampai menyakiti dan melukai hati mereka. Kita harus selalu berusaha untuk bisa membahagiakan mereka. Orang-orang yang telah mempunyai andil besar bagi kehidupan kita semua.
Orang tua telah melahirkan, merawat dan membesarkan kita secara dhohirBegitu juga dengan guru-guru telah ngopeni kita secara batin. Sebisa mungkin kita harus belajar berterimakasih dengan mendoakan untuk kebaikan mereka semua dan mematuhi seluruh petuah-petuah bijaknya. Dengan berbakti kepada orang tua dan guru diharapkan hidup kita menjadi lebih berkah. Bisa mengalami ziyadatul khoir. Bertambahnya kebaikan dan kemanfaatan untuk diri sendiri maupun lingkungan di sekitar kita.
Tidak hanya menyinggung soal akhlak dan moral saja. Gus Badar juga menekankan agar jamaah Jaljalut selalu setia terhadap NKRI dengan Pancasila sebagai ideologi negara. Nampaknya Gus Badar ingin menjadikan Jaljalut Trenggalek sebagai salah satu media perlawanan terhadap para kaum ekstrimis dan radikalis yang ingin merongrong keutuhan NKRI. Gus Badar sadar betul bahwa agama dan negara adalah dua kekuatan yang tak bisa dipisahkan. Ketika Negara dalam kondisi kacau-balau dan tidak stabil, umat tak bisa menjalankan agamanya dengan tenang. Oleh karena itu perlu adanya upaya untuk menjaga keutuhan dan persatuan NKRI tercinta.
Hal ini seperti dawuh Hadrotusy Syaikh Hasyim Asy’ari, “Agama dan nasionalisme adalah dua kutub yang tidak berseberangan, nasionalisme adalah bagian dari agama dan keduanya saling menguatkan.” Pendapat tersebut juga sama dengan apa yang dikatakan oleh Kyai Said Aqil tentang pentingnya memilik rasa nasionalisme dan cinta tanah air, “Barangsiapa yang tidak punya tanah air, maka tidak mungkin punya sejarah. Barangsiapa yang tidak punya sejarah, maka akan terlupakan.” Itu sebab mengapa yel-yel yang digunakan Jaljalut dalam setiap membuka dan menutup sambutan selalu didahului dengan mengobarkan semangat nasionalisme,” NKRI harga mati, sholawat sampai mati, taubat sebelum mati!!!! Tidak berhenti disitu, setiap selesai acara, seluruh jamaah diajak untuk berdiri guna menyanyikan lagu Indonesia Raya secara bersama-sama. Tentu saja menjadi sebuah pemandangan yang sangat menggetarkan.
Kantong Kebudayaan sebagai Jejaring Perjuangan
13282276_10209684999471967_467306941_n
Jaljalut (c) Baba Sujjada
Kini nama Jaljalut sudah menggema di seantero Trenggalek. Komunitas-komunitas pecinta sholawat-pun semakin banyak bermunculan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya bendera komunitas yang dikibarkan dalam setiap acara Jaljalutan. Jumlahnya hingga mencapai puluhan. Tentu saja berasal dari berbagai kecamatan. Komunitas pecinta sholawan itu diantaranya adalah; Mafia Sholawat, Manja, KPS (Komunitas Pecinta Sholawat), Gotri, Wong Ino Gendheng Sholawat, Jarobat, Gaspol, Loro Ati, Granat, Lare Remen Sholawat (Larsh), Info Salah Tompo, Kabisat, Ganas, Regas, Bapar, Gondo Mayit, Syeker mania, dan Bolo Rosho.
Hal ini tentu saja bisa dijadikan modal penting untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan. Banyaknya komunitas pecinta sholawat yang bermunculan bisa dimanfaatkan sebagai kantong-kantong kebudayaan. Kantong-kantong kebudayaan inilah yang nantinya bisa dimanfaatkan sebagai jejaring perjuangan. Sebab tanpa adanya jejaring yang kuat bisa mengakibatkan kesulitan dalam melakukan pergerakan. Dengan berjejaring hambatan yang ada lebih mudah untuk diselesaikan. Pada akhirnya tujuan perjuangan akan lebih mudah tersebarkan dan pesan-pesannya dapat tersampaikan.
Sekarang, sudah saatnya semua stakeholder sholawatan yang ada harus saling bersinergi dan berjuang bahu-membahu untuk mewujudkan pemuda Trenggalek yang berilmu, beriman, berakhlak, dan menjunjung tinggi semangat nasionalisme bela negara. Semoga!!!
*) Baba Sujjada, penggiat di QLC TrenggalekKaum sarungan yang jatuh hati pada gunung, pantai, senja dan Persebaya.
Pernah dimuat di https://literasitrenggalek.wordpress.com

Rabu, 16 Maret 2016

Waktu menujukkan pukul 13.00 WIB. “Akhirnya sampai juga di Kalimati,” teriak Kang Nordman ketika melihat balok kayu yang terpaku di batang pohon cemara bertuliskan ‘ANDA BERADA DI KALIMATI’. “Ternyata dari Ranu Kumbolo tadi, sudah 7,5 KM jarak yang kita tempuh, kang!” sahutku sambil menghitung total jarak tempuh yang terpampang persis di bawah papan informasi bertulisan ‘KALIMATI’. Kalimati merupakan shelter terakhir yang terletak di sebuah padang rumput luas, persis berada di kaki gunung Semeru bagian utara. Kalimati inilah yang biasa digunakan untuk mendirikan tenda para pendaki sebelum melakukan summit attack’ menuju puncak Mahameru.

“Kita istirahat di sebelah bangunan Shelter itu saja ya,” Kang Nordman melangkah maju seolah-olah tak butuh persetujuan dariku. Ia mengeluarkan matras hitam dari dalam ransel carrier-nya dan membebernya di bawah pohon cemara rindang sambil merebahkan tubuh atletisnya, Sepertinya ia sangat kelelahan sehabis memanggul ransel berat yang sekarang sudah berpindah posisi berada dalam dekapan tangannya, sebuah ransel berwarna merah tua yang  menjadi teman setia, dimanapun gunung yang pernah didakinya.

Udara dingin begitu terasa di ketinggian 2.700 mdpl. Angin lembah membelai pelan rambut gondrong Kang Nordman yang asyik tiduran sambil mengunyah roti kering Ransum TNI sisa perjalanan tadi. Aku duduk bersila di sampingnya, memandang sekeliling, terlihat hamparan rumput gersang menguning, di ujung yang lain sekumpulan bunga Edelweis Anaphalis terlihat bermekaran, bunga keabadian lambang cinta dan kasih sayang. Begitu eksotis dalam sunyi ketinggian.

Persis di depanku berdiri tegak gunung Semeru. Gagah menjulang tinggi seakan memanggilku untuk segera menggapai puncak mencumbui pasirnya. Gunung Semeru terlihat dihiasi dua warna yang sangat kontras. Bagian kaki gunung ditumbuhi vegetasi berupa sekumpulan cemara berwarna hijau tua. Sedangkan di atasnya sampai ke puncak yang nampak hanyalah lautan pasir berwarna putih keabuan tanpa vegetasi. Sesekali terlihat gumpalan letusan gunung Semeru,yang  dentumannya begitu keras. Gumpalan gas hasil letusan kawah Semeru yang bernama Jonggring Saloka serupa cendawan raksasa membumbung tinggi di angkasa membentuk formasi wedhus gembel. Benar-benar perpaduan pemandangan yang sangat menakjubkan.

Kang !!!” aku mencoba membuka pembicaraan setelah sesaat hening dengan pikiran masing-masing. “Kelihatan sekali sampean begitu intim dengan ransel merahmu itu, apakah benar kata teman-teman, ransel merah sampean itulah yang menjadi alasan kenapa sampean betah berlama-lama men-jomblo hingga sakarang? Padahal September nanti umur sampean sudah memasuki kepala tiga, apakah tak terbersit keinginan untuk segera naik ke pelaminan seperti teman-teman seangkatannya sampean? Atau jangan-jangan sampean itu bagian dari LGBT yang tak doyan dengan yang namanya perempuan,” candaku setengah mengejek perihal kejombloan akut yang dialami oleh Kang Nordman.

Kang Nordman hanya senyum-senyum menanggapi cercaan pertanyaanku. “Apalah arti pacaran selama masih ada gunung yang bisa didaki? Masih ada ransel merah tua ini yang bisa kusetubuhi?,” Kang Nordman menjawab dengan begitu dinginnya. “Witing tresna jalaran saka kulina, tumbuh cinta karena terbiasa, dan saya rasa rumus tersebut berlaku juga untuk seorang jomblo, ya kurang lebih begitulah yang saya alami sekarang ini, terlanjur nyaman dengan kejombloan saya” lanjut kang Nordman.

“Tapi Kang?” aku mencoba bertanya lebih lanjut perihal kejombloan temanku yang satu ini.

“Jangan tapi-tapian, ayo kita segera berangkat sebelum nanti kemalaman sampai ke Arcapada, tempat nge-camp yang sudah kita rencanakan kemarin,” ujar Kang Normand sambil memasukkan matras hitam ke dalam ransel merah tuanya itu.

Jangan salah sangka! Tampang Kang Nordman tidaklah jelek. Apalagi jika dibandingkan dengan teman-teman seangkatannya yang sudah lebih dulu menikah. Lulusan Sastra Jawa Universitas Indonesia, seorang aktivis LSM, kurang apa coba?

Memang ada yang aneh dengan perlakuan Kang Normand terhadap ransel merah tuanya itu, dan ini diam-diam yang kuamati sejak kemarin waktu awal pendakian di Pos Ranu Pane. Sebelum memanggul ransel merah tuanya itu ke punggungnya, kang Normand selalu mengawalinya dengan melakukan semacam ritual. Memeluk erat dan mencium bagian atas tas ranselnya. Agak lama juga iya menciumnya. Kemarin aku hanya membatin, mungkin ini efek dari status kang Normand sebagai seorang ‘Pendaki solo carrier’ – pendaki jomblo yang kemana-mana hanya berpasangan dengan ransel gunungnya saja.

Kang Normand terlihat begitu menghayati sekali ritualnya itu. Pasti ada rahasia besar yang disembunyikan. Atau jangan-jangan aku-nya saja yang terlalu berlebihan dalam menduga-duga. Dengan kata lain, Kang Normand memang sedang mengalami kelaian akibat dari kejombloan yang telah lama dialaminya tersebut.

Sebenarnya aku sempat mau menanyakan perihal ritual yang selalu dilakukan oleh Kang Normand langsung kepadanya. Tapi niat itu urung aku sampaikan, takut kalau pertanyaanku akan menyakiti hatinya.

“Heiii …. Kenapa dari tadi kamu bengong saja?” teriak Kang Normand membuyarkan lamunanku saat perjalanan Kalimati menuju Arcapada.

“Kalau sudah di gunung kita harus fokus, jangan sampai pikiran kosong, biar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan,” ujar Kang Normand menasehatiku.

“Sekarang kita sudah sampai di batas akhir Kalimati, di sinilah pendakian kita benar-benar dimulai, di depan kita sudah berdiri gunung Semeru, gunung suci yang dikeramatkan dan dianggap tempat bersemayamnya para Dewa. Sebaiknya kita berdoa terlebih dahulu sebelum memasuki tempat yang kata banyak orang memiliki aura magis yang sangat tinggi ini,” kata Kang Normand sambil menoleh kearahku.

Selesai berdoa kami berdua melangkah menuruni lereng yang cukup curam bekas aliran lahar di masa lalu. Bekas aliran lahar inilah yang memisahkan Kalimati dengan Gunung Semeru. Di pintu masuk gunung Semeru, kami disambut belantara hutan yang dipenuhi oleh pepohonan cemara. Jalan yang kami lalui begitu terjal, bahkan sampai harus menaiki dan menuruni akar-akar besar yang menghadang di perjalanan.

Benar apa yang dikatakan oleh Kang Normand tadi, gunung Semeru menyimpan sejuta aura magis. Berulang kali terdengar suara longsoran dari kanan-kiri jalan yang kami lalui. Jalur yang kami lalui merupakan punggungan bukit dimana kanan dan kiri adalah jurang-jurang yang sangat dalam. Tanah yang labil penuh debu pasir dan rawan longsor memaksa kami untuk konsentrasi penuh agar tak sampai terperosok ke dalam jurang.

Medan pendakian Kalimati-Arcapada semakin angkuh. Jurang menganga sejarak dua meter dari jalur pendakian semakin membuat kami miris. Detak jantungku semakin berdegup kencang seiring dengan langkah kaki yang menapak pelan sangat berhati-hati.

“Break dulu Kang !!!” teriakku pada Kang Normand yang sudah beberapa langkah meninggalkanku di depan.

“Ok, kita istirahat di akar besar itu saja,” jawab kang Normand sambil menunjuk ke arah pohon besar sekitar 50 meter di depanku.

It’s always further than it looks. It’s always taller than it looks. And it’s always harder than it looks. Selalu lebih jauh, lebih tinggi, dan lebih sulit dari yang terlihat,” kalimat kang Nordman membuka percakapan mengutip 3 Rule of Mountaineering.

“Betul sekali kang, ternyata benar kata sampean, kegiatan mountaineering bukan hanya sekedar kegiatan bersenang-senang di alam bebas belaka. Ini merupakan sebuah perjalanan spiritual. Sekarang aku dapat merasakan sendiri, betapa kecil sekali diri ini di hadapan semesta raya,” sahutku sambil meneguk air putih yang baru saja kuambil dari dalam ransel.

“Iya, seperti halnya kata Edmund Hillary yang mengatakan bahwa ‘it is not the mountain we conquer but our selves’, bukan gunung yang harus kita taklukkan, melainkan diri kita sendiri. Jadi jangan pernah menyombongkan diri bisa menaklukkan sebuah gunung, yang bisa kita lakukan hanyalah berjalan menyusuri setiap punggungannya sambil berharap menjadi manusia beruntung yang bisa menggapai puncaknya,” kata Kang Nordman menimpali. “Mari kita lanjutkan perjalanan, Arcapada sudah dekat di depan situ,” lanjutnya.

Perjalanan kami lanjutkan, jalur pendakian masih belum bersahabat, tak jarang kami berdua harus merayapi terjalnya medan.

15 menit berselang, keterjalan medan menghilang, debu-debupun tak lagi menghadang, tak jauh di seberang terdengar sayup-sayup gelak tawa pendaki gunung. Langkah kakipun semakin kupercepat menapak menuju sumber suara.

Tiba-tiba di balik pepohonan muncullah dua pasang tenda yang sudah terpasang, berdiri pada kontur tanah yang sengaja dibuat bertingkat-tingkat.

“Selamat datang di Arcapada!!!” lima orang yang sedang bersantai di depan tenda menyambut kedatangan kami berdua. Aku dan Kang Nordman berjalan menghampiri mereka berlima dan menyalaminya satu persatu sebagai tanda persahabatan. Setelah basa-basi sebentar, kami meminta ijin kepada mereka untuk mendirikan tenda di sampingnya, di ketinggian 2.900 Mdpl.

                                                                        ****
Waktu menunjukkan pukul 01.00 WIB. Di remang pagi, terlihat Kang Nordman sibuk  mempersiapkan diri untuk summit attack menuju puncak Mahameru. Tak lupa ia mengecek logistik, yang sudah tertata rapi dalam daypack-nya. 1 botol aqua ukuran 1500 ml, 4 potong roti tawar kering, madu, dan tak lupa 1 tabung oksigen.  Kang Nordman telah memberi kode siap, pertanda logistik sudah aman terkendali. Aku pun pergi mendekat ke arahnya. Kami berdua berdoa kepada Tuhan YME, semoga diberi kemudahan dan keselamatan untuk menggapai keindahan ciptaan-Nya.

Headlamp, jaket tebal, celana gunung, dan sarung tangan tebal sudah melekat di badan. Pemberangkatan menuju puncak Mahameru segera dimulai. “Tunggu sebentar,”ucap Kang Nordman lirih. Ia berjalan pelan masuk ke dalam tenda, seperti biasanya, ia selalu melakukan ritual sebelum memulai perjalanan. Apalagi kalau bukan memeluk dan mencium tas ransel besar merah tuanya itu. Tapi untuk kali ini, ransel tersebut mau tidak mau harus ditinggalkan di dalam tenda. Tak mungkin menapaki lereng terjal berpasir dengan kemiringan sampai 60 derajat sambil membawa ransel seberat itu.

Tergambar jelas kesedihan di raut wajah Kang Nordman ketika harus menghadapi kenyataan, meninggalkan ransel merah tuanya. Diambilnya selembar kertas dari kantong samping ranselnya itu. Tak seperti biasanya, kali ini Kang Nordman terlihat begitu emosional dengan ransel merah tuanya. Dipeluk dan diciumnya erat sekali lagi hingga tak sadar air matanya jatuh bercucuran.

Aku memberanikan diri bertanya kepadanya,”Sebenarnya ada apa dengan ransel merah tuanya sampean itu Kang?”

Sambil menyeka tetes air mata, Kang Nordman berkata lirih,” Mungkin selama ini kamu dan teman-teman menganggap saya ini sebagai seorang yang aneh. Memeluk dan menciumi ransel tua ini layaknya sebagai seorang kekasih. Tak mengapa, kalian memang tidak pernah tahu bahwa hal ini menyangkut kejadian pilu 6 tahun yang lalu. Sekarang ayolah kita berangkat dulu, nanti di tengah perjalanan saya tunjukkan ada apa dengan kisah ransel merah tua ini.”

Perjalanan pun kami mulai. Trek yang kami lalui masih hampir sama dengan jalur Kalimati-Arcapada kemarin. Jalan setapak berdebu. Sorot headlamp kami menembus kegelapan belantara malam. Sejak kejadian sendu di Arcapada beberapa saat yang lalu, di perjalanan, aku dan Kang Nordman lebih banyak diam, sibuk dengan pikiran masing-masing.

Di depan batas vegetasi terlihat begitu jelas. Batas yang memisahkan antara lereng Semeru yang masih ditumbuhi oleh tanaman dan lereng Semeru tanpa tanaman dengan hamparan lautan pasir putih keabu-abuannya.

Tiba-tiba Kang Nordman menghentikan langkahnya. Sorot headlampnya diarahkan ke kanan. Nampaknya ia hafal betul dengan lokasi ini. Ia berjalan keluar dari jalur pendakian, memutar ke arah kanan. Aku mengikutinya dari arah belakang. Dan kali ini sorot headlampnya tepat mengarah menuju sebuah plakat yang terbuat dari marmer putih. Aku penasaran, plakat tentang apakah itu? Mungkinkah plakat petunjuk jalan atau sebuah prasasti, yang jelas aku tak tau pasti. Jarakku semakin dekat dengan plakat itu, tulisannya semakin kelihatan dan bisa terbaca, dan “Astagaaaa …..,” aku terkejut membaca tulisannya. Plakat itu bertuliskan;
“ IN MEMORIAM Moch. Soegiharjono (Jono) dan Taufik P Ganifianto (Khelik), 11 Januari 1984, EX BHAWIKARSU X 4 MALANG”. Ternyata sebuah plakat kematian. Seketika itu, bulu kudukku berdiri tanpa terkontrol lagi.

Tapi di mana Kang Nordman tadi? Aku terlalu fokus terhadap plakat kematian ini hingga tak sadar kemana Kang Nordman pergi.

Terlihat samar Kang Nordman sedang bersimpuh di samping plakat yang juga berwarna putih. “Plakat apakah itu?” batinku dalam hati. “Jangan-jangan itu plakat kematian seperti yang itu tadi?” aku semakin penasaran.

Aku mendekat ke arah Kang Nordman. Sorot headlamp ku arahkan ke plakat putih di samping Kang Nordman. Terlihat jelas tulisan di plakat itu; “Jejakmu tertinggal di sini,senyummu kubawa pergi” di bawahnya tertulis nama Easthi (Agustus 2009).

“Siapakah gerangan perempuan ini? Ada hubungan apakah dengan Kang Nordman?” pikiranku dihinggapi berbagai macam jenis pertanyaan.

Kang Nordman terlihat khusyuk melantunkan doa-doanya. Dikeluarkan selembar kertas putih yang dibawanya semenjak dari Arcapada tadi. Ia membuka lipatan kertasnya dan membaca lirih;

MAHAMERU
Yang mencintai udara jernih
Yang mencintai terbang burung-burung
Yang mencintai keleluasaan & kebebasan
Yang mencintai bumi

Mereka mendaki ke puncak gunung-gunung
Mereka tengadah & berkata, kesana-lah Easthi pergi
Kembali ke pangkuan bintang-bintang

Sementara bunga-bunga negeri ini tersebar sekali lagi
Sementara saputangan menahan tangis
Sementara Desember menabur gerimis


Aku tak asing dengan puisi ini. Bukankah ini puisinya Sanento Yuliman yang dibuat khusus untuk mengenang kepergian Soe Hok Gie dan Idhan Lubis?

Aku terperanjat tatkala Kang Nordman menepuk pundakku dari belakang,”Di sini, enam tahun yang lalu, kekasih yang sangat aku cintai, Easthi, menghembuskan nafas terakhirnya. Dan tahukah kamu tentang ransel merah tua yang biasa kupeluk dan kuciumi itu? Ialah bagian dari diri Easthi yang masih bisa ku miliki sampai sekarang ini.”

Duuuuaaarrrrrr ….. aku masih belum begitu percaya dengan apa yang kudengar barusan. Jadi kejombloan Kang Nordman selama ini tidaklah seperti yang aku dan teman-teman bayangkan. Berdosa sekali aku selama ini yang mengatakan Kang Nordman mengalami kelainan yang diakibatkan oleh kejombloan akut yang dialaminya hingga sekarang.

Aku jadi teringat perkataan Sir Martin Convay; Each fresh peak ascended teaches something, setiap puncak yang baru didaki selalu mengajarkan sesuatu. Dan kali ini aku belajar banyak kepada Kang Nordman, seorang sahabat yang telah mengajariku akan arti cinta dan kesetiaan.

Setiap kejombloan pastilah ada alasan. Dan cinta Kang Nordman bisa kujajarkan dengan cinta Chairil Anwar kepada Aryati, cinta Khalil Gibran kepada Selma Karamy. Nampaknya Kang Nordman memilih jalan cinta yang sunyi seperti halnya Umbu Landu Paranggi.




Minggu, 13 Maret 2016


Berbahagialah bagi yang mau menyediakan waktu untuk belajar dan bermain bersama anak-anak. Anak-anak merupakan guru kehidupan yang nyata bagi setiap insan. Senyumnya yang simpul, tawanya yang renyah, tingkah yang polos serba apa-adanya, tak pernah tersirat sedikitpun topeng-topeng kemunafikan. Dari anak-anak seharusnya kita belajar, bahwa kejujuran dan keterbukaan seharusnya berlaku untuk semua usia, untuk siapa saja.
                                                           
Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, begitu kira-kira kata nabi. Jiwanya yang bersih  tergambar jelas dalam rona keceriaan yang sering kita saksikan saat sedang bermain dengan teman sebayanya. Coba lihatlah bagaimana cara mereka bermain!!! Tidak pernah membeda-bedakan antara satu dengan yang lainnya. Semua sama. Tujuan mereka hanyalah mencari kebahagiaan tanpa harus saling menyalahkan, tanpa harus saling mengalahkan, bukan lagi tentang siapa yang unggul atas siapa, melainkan tentang sebuah kebersamaan!!! (Eits, tidak sedang kampanye ajaran sosialisme lho ya :D)

Andai saja terjadi ‘konflik kepentingan’ di dalam sebuah permainan, anak-anak sama seperti orang dewasa kebanyakan, bertengkar!!! Tapi ada satu hal mendasar yang membedakan anak-anak dengan orang dewasa, yakni keluasan hati tanpa rasa kebencian. Bagi anak-anak, pertengkaran bukan awal dari sebuah permusuhan. Ia hanyalah kesalahpahaman temporal yang  akan cair dan sendirinya. Tak ada luka hati, tak ada dendam, yang ada paling cuma sebuah tangisan. Tangis ketidaknyamanan yang menimbulkan kenyamanan, (Loh kok bisa? Bingung ya? Sama dooong, hahahaha).

Setelah reda tangisan, setelah sang anak menemukan proses kenyamanannya (opo maneh iki :D,) ia akan bermain kembali bersama temannya, seolah tak pernah terjadi yang namanya pertengkaran. Indah sekali, bukan? Coba bandingkan apabila manusia yang mengaku sudah dewasa terjebak dalam sebuah pertengkaran, apa yang akan mereka lakukan? Bisa jadi dan sangat berpotensi untuk terus dipelihara bahkan hingga sampai ajal menjelang. Atas nama keakuan mereka enggan untuk sekedar mengakui sebuah kesalahan. Jangankan mengakui kesalahan, bertutur sapa ketika berpapasan di jalan-pun menjadi enggan. Sebuah pertengkaran-pun menjadi sebuah awal dari permusuhan. Dan repotnya lagi, permusuhan yang pada awalnya bersifat individu ini terkadang coba diwariskan dan disebarkan menggunakan isu-isu berbau primordial. Dus, kalau sudah begini, kehidupan macam apa yang layak untuk diteruskan.

                                                                        ****
Sayang, seiring bertambahnya usia, kesucian jiwa anak-anak terkontaminasi oleh polusi yang bertebaran sana-sini. Kesucian jiwanya telah terampas oleh lingkungan yang tidak ramah terhadap tumbuh kembangnya. Anak-anak dijejali informasi dan teknologi yang belum sesuai dengan usianya. Orang tua yang semestinya mempunyai tugas menanamkan nilai-nilai dan kesadaran diri sang anak acapkali sibuk dengan kegiatannya sendiri. Mereka lupa mendekatkan diri secara emosi dan lebih memilih membiarkan anak bertumbuh kembang bersama layar HP dan televisi. Kalau sudah begini apa yang terjadi? Anak mengalami gejala alienisasi, keterasingan diri, dan melakukan pelarian ke dunia yang mungkin tak pernah orang tua kehendaki.

Tapi biar bagaimanapun, saya tetap berpendapat bahwa tidak pernah ada anak yang salah, yang ada adalah lingkungan yang salah dalam mendidik anak. Karakter anak dibentuk melalui sebuah proses yang bernama pembiasaan. Ia akan melakukan imitasi terhadap apa saja yang ada dan yang sedang berlangsung di sekitarnya. Baik dan buruk seorang anak sangat tergantung lingkungannya. Mereka tentu saja berbeda dengan manusia dewasa yang sudah mengenal konsep dan pengendalian diri.

Menjadi orang tua adalah salah tugas terberat bagi manusia. Berbeda dengan profesi lain yang ada sekolahnya, untuk menjadi orang tua tidak pernah ada sekolahnya. Maka dari itu, bersyukurlah bagi kalian-kalian yang mendeklarasikan diri sebagai ‘jomblo ideologis aliran surealis’, (opo hubungane jaalll?). “Ojo kesusu ndang rabii!!!”, “Yo ojok sampek pacaran tanpa tujuan sing pasti”. Pacaran hanya megajari cara menjalin hubungan, tanpa pernah mengajari cara mendidik dan menyayangi buah hati. Kejombloan bukanlah sesuatu hal yang mesti disesali apalagi diratapi, hohoho … Jomblo adalah saat yang tepat untuk mengembangkan dan memantaskan diri, agar nantinya bisa menjadi orang tua yang baik, yang mampu mendidik dan menyayangi sang buah hati sepenuh hati, (ini bukan sebuah bentuk pembelaan diri seorang jomblo !!!). Anak-anak adalah masa depan. Di tangan mereka kelak peradaban dilanjutkan. Ditangan para orang tua-lah  keberadaban umat manusia dipertaruhkan!!!

Terpujilah bagi mereka yang mendedikasikan diri untuk anak-anak ….
                                                                     
                                                                            ****
Sebagai penganut aliran surealis, aku membayangkan, kelak anak-anakku dibesarkan di desa nan permai bersama nyayian alam. Ia tumbuh bersama belai udara segar hasil respirasi pohon kehidupan, ditimang dan dinina bobokan bersama merdu kicau burung yang bersarang di dahan pohon-pohon besar. Bila pagi tiba, ia disuapi makan sambil bermain dengan ayam-ayam kecil di pekarangan atau dengan ikan-ikan lucu yang sengaja dipelihara di kolam. Mereka bermain sambil diiringi samar-samar murattal al-quran, syair Ronggowarsito, lagu Bubuy Bulan, dan tak ketinggalan lagu instrumentalnya Beethoven dan Mozart. Apalagi coba yang diperlukan dikhawatirkan dari anak-anak yang tumbuh dan berkembang dalam keharmonian?


Manusia tercipta dari mineral-mineral tanah. Biarkan anak-anak bercengkerama dengan asal-muasalnya. Dari situ anak bisa mengenal siapa dirinya yang sebenarnya. Tumbuh dan berkembang dengan sempurna, jiwa dan raganya …..

Rabu, 02 Maret 2016


Keterbatasan sumber daya (air) tak selalu menyebabkan timbulnya konflik di tengah-tengah masyarakat. Bisa jadi, berawal dari keterbasan timbul rasa saling membutuhkan antara manusia satu dengan manusia lainnya. Lagian apa guna persaingan ditengah kesulitan yang menghadang, itu sama saja melakukan bunuh diri secara perlahan.

Daerah karst sangat minim dengan air permukaan, air hujan turun langsung menuju aliran sungai bawah tanah melalui lapisan ponor, tinggallah kering nan gersang meghiasi tanah bebatuan. Padahal air adalah sumber kehidupan. Di manakah kehidupan bisa mereka dapatkan? Satu-satunya air permukaan hanyalah cekungan doline yang terisi air hujan, ya itulah yang menjadi sumber penghidupannya, bagi manusia, hewan maupun tanaman.

Tak usahlah jijik membayangkan apabila kita harus mandi satu lokasi  sama hewan piaraan, itu merupakan pemandangan umum yang biasa kita saksikan di daerah Paliyan. Di tempat pemandian hewan sekaligus pemilik hewannya itu tadi, bisa kita saksikan sekelompok manusia bergerombol di tangga plesteran, sedang asyik 'mengucek' dan membilas pakaian, dan lebih parahnya lagi, ada juga sekelompok orang yang sedang mengambil air untuk kebutuhan minum dan makan, ya itu tadi .... air yang juga digunakan untuk memandikan hewan!!!!!

Lha terus mau bagaimana lagi? Cekungan doline itulah satu-satunya sumber penghidupan.

Jangan berbicara kesehatan dihadapan mereka. Buktinya banyak dari mereka yang berusia panjang, juga jarang yang sakit-sakitan. Aku sendiri juga heran, orang sepuh-pun banyak yang masih enerjik bekerja ke ladang.

Mungkin bisa kutarik sebuah kesimpulan, bahwasanya keterbatasan tak hanya bisa menimbulkan kerukunan tapi juga bisa menyehatkan.