Waktu
menujukkan pukul 13.00 WIB. “Akhirnya sampai juga di Kalimati,” teriak Kang
Nordman ketika melihat balok kayu yang terpaku di batang pohon cemara
bertuliskan ‘ANDA BERADA DI KALIMATI’. “Ternyata dari Ranu Kumbolo tadi, sudah
7,5 KM jarak yang kita tempuh, kang!” sahutku sambil menghitung total jarak
tempuh yang terpampang persis di bawah papan informasi bertulisan ‘KALIMATI’.
Kalimati merupakan shelter terakhir
yang terletak di sebuah padang rumput luas, persis berada di kaki gunung Semeru
bagian utara. Kalimati inilah yang biasa digunakan untuk mendirikan tenda para
pendaki sebelum melakukan ‘summit attack’ menuju puncak Mahameru.
“Kita
istirahat di sebelah bangunan Shelter itu saja ya,” Kang Nordman melangkah maju
seolah-olah tak butuh persetujuan dariku. Ia mengeluarkan matras hitam dari
dalam ransel carrier-nya dan membebernya di bawah pohon cemara rindang sambil
merebahkan tubuh atletisnya, Sepertinya ia sangat kelelahan sehabis memanggul ransel
berat yang sekarang sudah berpindah posisi berada dalam dekapan tangannya, sebuah
ransel berwarna merah tua yang menjadi
teman setia, dimanapun gunung yang pernah didakinya.
Udara
dingin begitu terasa di ketinggian 2.700 mdpl. Angin lembah membelai pelan
rambut gondrong Kang Nordman yang asyik tiduran sambil mengunyah roti kering Ransum TNI sisa perjalanan tadi. Aku
duduk bersila di sampingnya, memandang sekeliling, terlihat hamparan rumput
gersang menguning, di ujung yang lain sekumpulan bunga Edelweis Anaphalis
terlihat bermekaran, bunga keabadian lambang cinta dan kasih sayang. Begitu
eksotis dalam sunyi ketinggian.
Persis
di depanku berdiri tegak gunung Semeru. Gagah menjulang tinggi seakan
memanggilku untuk segera menggapai puncak mencumbui pasirnya. Gunung Semeru
terlihat dihiasi dua warna yang sangat kontras. Bagian kaki gunung ditumbuhi
vegetasi berupa sekumpulan cemara berwarna hijau tua. Sedangkan di atasnya
sampai ke puncak yang nampak hanyalah lautan pasir berwarna putih keabuan tanpa
vegetasi. Sesekali terlihat gumpalan letusan gunung Semeru,yang dentumannya begitu keras. Gumpalan gas hasil
letusan kawah Semeru yang bernama Jonggring Saloka serupa cendawan raksasa membumbung
tinggi di angkasa membentuk formasi wedhus
gembel. Benar-benar perpaduan pemandangan yang sangat menakjubkan.
“Kang !!!” aku mencoba membuka
pembicaraan setelah sesaat hening dengan pikiran masing-masing. “Kelihatan
sekali sampean begitu intim dengan
ransel merahmu itu, apakah benar kata teman-teman, ransel merah sampean itulah yang menjadi alasan
kenapa sampean betah berlama-lama
men-jomblo hingga sakarang? Padahal
September nanti umur sampean sudah
memasuki kepala tiga, apakah tak terbersit keinginan untuk segera naik ke
pelaminan seperti teman-teman seangkatannya sampean?
Atau jangan-jangan sampean itu bagian
dari LGBT yang tak doyan dengan yang namanya perempuan,”
candaku setengah mengejek perihal kejombloan akut yang dialami oleh Kang
Nordman.
Kang
Nordman hanya senyum-senyum menanggapi cercaan pertanyaanku. “Apalah arti
pacaran selama masih ada gunung yang bisa didaki? Masih ada ransel merah tua
ini yang bisa kusetubuhi?,” Kang Nordman menjawab dengan begitu dinginnya. “Witing tresna jalaran saka kulina, tumbuh
cinta karena terbiasa, dan saya rasa rumus tersebut berlaku juga untuk seorang
jomblo, ya kurang lebih begitulah yang saya alami sekarang ini, terlanjur
nyaman dengan kejombloan saya” lanjut kang Nordman.
“Tapi
Kang?” aku mencoba bertanya lebih lanjut perihal kejombloan temanku yang satu
ini.
“Jangan
tapi-tapian, ayo kita segera berangkat sebelum nanti kemalaman sampai ke
Arcapada, tempat nge-camp yang sudah kita rencanakan kemarin,” ujar Kang
Normand sambil memasukkan matras hitam ke dalam ransel merah tuanya itu.
Jangan
salah sangka! Tampang Kang Nordman tidaklah jelek. Apalagi jika dibandingkan
dengan teman-teman seangkatannya yang sudah lebih dulu menikah. Lulusan Sastra
Jawa Universitas Indonesia, seorang aktivis LSM, kurang apa coba?
Memang
ada yang aneh dengan perlakuan Kang Normand terhadap ransel merah tuanya itu,
dan ini diam-diam yang kuamati sejak kemarin waktu awal pendakian di Pos Ranu
Pane. Sebelum memanggul ransel merah tuanya itu ke punggungnya, kang Normand selalu
mengawalinya dengan melakukan semacam ritual. Memeluk erat dan mencium bagian
atas tas ranselnya. Agak lama juga iya menciumnya. Kemarin aku hanya membatin,
mungkin ini efek dari status kang Normand sebagai seorang ‘Pendaki solo
carrier’ – pendaki jomblo yang kemana-mana hanya berpasangan dengan ransel
gunungnya saja.
Kang
Normand terlihat begitu menghayati sekali ritualnya itu. Pasti ada rahasia
besar yang disembunyikan. Atau jangan-jangan aku-nya saja yang terlalu
berlebihan dalam menduga-duga. Dengan kata lain, Kang Normand memang sedang
mengalami kelaian akibat dari kejombloan yang telah lama dialaminya tersebut.
Sebenarnya
aku sempat mau menanyakan perihal ritual yang selalu dilakukan oleh Kang
Normand langsung kepadanya. Tapi niat itu urung aku sampaikan, takut kalau
pertanyaanku akan menyakiti hatinya.
“Heiii
…. Kenapa dari tadi kamu bengong saja?” teriak Kang Normand membuyarkan
lamunanku saat perjalanan Kalimati menuju Arcapada.
“Kalau
sudah di gunung kita harus fokus, jangan sampai pikiran kosong, biar tidak
terjadi hal-hal yang tidak diinginkan,” ujar Kang Normand menasehatiku.
“Sekarang
kita sudah sampai di batas akhir Kalimati, di sinilah pendakian kita
benar-benar dimulai, di depan kita sudah berdiri gunung Semeru, gunung suci
yang dikeramatkan dan dianggap tempat bersemayamnya para Dewa. Sebaiknya kita
berdoa terlebih dahulu sebelum memasuki tempat yang kata banyak orang memiliki
aura magis yang sangat tinggi ini,” kata Kang Normand sambil menoleh kearahku.
Selesai
berdoa kami berdua melangkah menuruni lereng yang cukup curam bekas aliran
lahar di masa lalu. Bekas aliran lahar inilah yang memisahkan Kalimati dengan
Gunung Semeru. Di pintu masuk gunung Semeru, kami disambut belantara hutan yang
dipenuhi oleh pepohonan cemara. Jalan yang kami lalui begitu terjal, bahkan
sampai harus menaiki dan menuruni akar-akar besar yang menghadang di
perjalanan.
Benar
apa yang dikatakan oleh Kang Normand tadi, gunung Semeru menyimpan sejuta aura
magis. Berulang kali terdengar suara longsoran dari kanan-kiri jalan yang kami
lalui. Jalur yang kami lalui merupakan punggungan bukit dimana kanan dan kiri
adalah jurang-jurang yang sangat dalam. Tanah yang labil penuh debu pasir dan
rawan longsor memaksa kami untuk konsentrasi penuh agar tak sampai terperosok
ke dalam jurang.
Medan
pendakian Kalimati-Arcapada semakin angkuh. Jurang menganga sejarak dua meter
dari jalur pendakian semakin membuat kami miris. Detak jantungku semakin
berdegup kencang seiring dengan langkah kaki yang menapak pelan sangat
berhati-hati.
“Break
dulu Kang !!!” teriakku pada Kang Normand yang sudah beberapa langkah
meninggalkanku di depan.
“Ok,
kita istirahat di akar besar itu saja,” jawab kang Normand sambil menunjuk ke arah
pohon besar sekitar 50 meter di depanku.
“It’s always further than it looks. It’s
always taller than it looks. And it’s always harder than it looks. Selalu
lebih jauh, lebih tinggi, dan lebih sulit dari yang terlihat,” kalimat kang
Nordman membuka percakapan mengutip 3 Rule of Mountaineering.
“Betul
sekali kang, ternyata benar kata sampean, kegiatan mountaineering bukan hanya sekedar kegiatan bersenang-senang di
alam bebas belaka. Ini merupakan sebuah perjalanan spiritual. Sekarang aku
dapat merasakan sendiri, betapa kecil sekali diri ini di hadapan semesta raya,”
sahutku sambil meneguk air putih yang baru saja kuambil dari dalam ransel.
“Iya,
seperti halnya kata Edmund Hillary yang mengatakan bahwa ‘it is not the mountain we conquer but our selves’, bukan gunung
yang harus kita taklukkan, melainkan diri kita sendiri. Jadi jangan pernah
menyombongkan diri bisa menaklukkan sebuah gunung, yang bisa kita lakukan
hanyalah berjalan menyusuri setiap punggungannya sambil berharap menjadi
manusia beruntung yang bisa menggapai puncaknya,” kata Kang Nordman menimpali.
“Mari kita lanjutkan perjalanan, Arcapada sudah dekat di depan situ,”
lanjutnya.
Perjalanan
kami lanjutkan, jalur pendakian masih belum bersahabat, tak jarang kami berdua
harus merayapi terjalnya medan.
15
menit berselang, keterjalan medan menghilang, debu-debupun tak lagi menghadang,
tak jauh di seberang terdengar sayup-sayup gelak tawa pendaki gunung. Langkah
kakipun semakin kupercepat menapak menuju sumber suara.
Tiba-tiba
di balik pepohonan muncullah dua pasang tenda yang sudah terpasang, berdiri
pada kontur tanah yang sengaja dibuat bertingkat-tingkat.
“Selamat
datang di Arcapada!!!” lima orang yang sedang bersantai di depan tenda
menyambut kedatangan kami berdua. Aku dan Kang Nordman berjalan menghampiri
mereka berlima dan menyalaminya satu persatu sebagai tanda persahabatan.
Setelah basa-basi sebentar, kami meminta ijin kepada mereka untuk mendirikan
tenda di sampingnya, di ketinggian 2.900 Mdpl.
****
Waktu
menunjukkan pukul 01.00 WIB. Di remang pagi, terlihat Kang Nordman sibuk mempersiapkan diri untuk summit attack menuju puncak Mahameru. Tak lupa ia mengecek logistik,
yang sudah tertata rapi dalam daypack-nya.
1 botol aqua ukuran 1500 ml, 4 potong roti tawar kering, madu, dan tak lupa 1
tabung oksigen. Kang Nordman telah
memberi kode siap, pertanda logistik sudah
aman terkendali. Aku pun pergi mendekat ke arahnya. Kami berdua berdoa kepada
Tuhan YME, semoga diberi kemudahan dan keselamatan untuk menggapai keindahan
ciptaan-Nya.
Headlamp,
jaket tebal, celana gunung, dan sarung tangan tebal sudah melekat di badan.
Pemberangkatan menuju puncak Mahameru segera dimulai. “Tunggu sebentar,”ucap
Kang Nordman lirih. Ia berjalan pelan masuk ke dalam tenda, seperti biasanya,
ia selalu melakukan ritual sebelum memulai perjalanan. Apalagi kalau bukan
memeluk dan mencium tas ransel besar merah tuanya itu. Tapi untuk kali ini,
ransel tersebut mau tidak mau harus ditinggalkan di dalam tenda. Tak mungkin
menapaki lereng terjal berpasir dengan kemiringan sampai 60 derajat sambil
membawa ransel seberat itu.
Tergambar
jelas kesedihan di raut wajah Kang Nordman ketika harus menghadapi kenyataan,
meninggalkan ransel merah tuanya. Diambilnya selembar kertas dari kantong
samping ranselnya itu. Tak seperti biasanya, kali ini Kang Nordman terlihat
begitu emosional dengan ransel merah tuanya. Dipeluk dan diciumnya erat sekali
lagi hingga tak sadar air matanya jatuh bercucuran.
Aku
memberanikan diri bertanya kepadanya,”Sebenarnya ada apa dengan ransel merah
tuanya sampean itu Kang?”
Sambil
menyeka tetes air mata, Kang Nordman berkata lirih,” Mungkin selama ini kamu
dan teman-teman menganggap saya ini sebagai seorang yang aneh. Memeluk dan
menciumi ransel tua ini layaknya sebagai seorang kekasih. Tak mengapa, kalian
memang tidak pernah tahu bahwa hal ini menyangkut kejadian pilu 6 tahun yang
lalu. Sekarang ayolah kita berangkat dulu, nanti di tengah perjalanan saya
tunjukkan ada apa dengan kisah ransel merah tua ini.”
Perjalanan
pun kami mulai. Trek yang kami lalui masih hampir sama dengan jalur
Kalimati-Arcapada kemarin. Jalan setapak berdebu. Sorot headlamp kami menembus kegelapan belantara malam. Sejak kejadian
sendu di Arcapada beberapa saat yang lalu, di perjalanan, aku dan Kang Nordman
lebih banyak diam, sibuk dengan pikiran masing-masing.
Di
depan batas vegetasi terlihat begitu jelas. Batas yang memisahkan antara lereng
Semeru yang masih ditumbuhi oleh tanaman dan lereng Semeru tanpa tanaman dengan
hamparan lautan pasir putih keabu-abuannya.
Tiba-tiba
Kang Nordman menghentikan langkahnya. Sorot headlampnya diarahkan ke kanan.
Nampaknya ia hafal betul dengan lokasi ini. Ia berjalan keluar dari jalur
pendakian, memutar ke arah kanan. Aku mengikutinya dari arah belakang. Dan kali
ini sorot headlampnya tepat mengarah menuju sebuah plakat yang terbuat dari
marmer putih. Aku penasaran, plakat tentang apakah itu? Mungkinkah plakat
petunjuk jalan atau sebuah prasasti, yang jelas aku tak tau pasti. Jarakku
semakin dekat dengan plakat itu, tulisannya semakin kelihatan dan bisa terbaca,
dan “Astagaaaa …..,” aku terkejut membaca tulisannya. Plakat itu bertuliskan;
“
IN MEMORIAM Moch. Soegiharjono (Jono) dan Taufik P Ganifianto (Khelik), 11
Januari 1984, EX BHAWIKARSU X 4 MALANG”. Ternyata sebuah plakat kematian.
Seketika itu, bulu kudukku berdiri tanpa terkontrol lagi.
Tapi
di mana Kang Nordman tadi? Aku terlalu fokus terhadap plakat kematian ini
hingga tak sadar kemana Kang Nordman pergi.
Terlihat
samar Kang Nordman sedang bersimpuh di samping plakat yang juga berwarna putih.
“Plakat apakah itu?” batinku dalam hati. “Jangan-jangan itu plakat kematian
seperti yang itu tadi?” aku semakin penasaran.
Aku
mendekat ke arah Kang Nordman. Sorot headlamp ku arahkan ke plakat putih di
samping Kang Nordman. Terlihat jelas tulisan di plakat itu; “Jejakmu tertinggal
di sini,senyummu kubawa pergi” di bawahnya tertulis nama Easthi (Agustus 2009).
“Siapakah
gerangan perempuan ini? Ada hubungan apakah dengan Kang Nordman?” pikiranku dihinggapi
berbagai macam jenis pertanyaan.
Kang
Nordman terlihat khusyuk melantunkan doa-doanya. Dikeluarkan selembar kertas
putih yang dibawanya semenjak dari Arcapada tadi. Ia membuka lipatan kertasnya
dan membaca lirih;
MAHAMERU
Yang mencintai udara jernih
Yang mencintai terbang burung-burung
Yang mencintai keleluasaan & kebebasan
Yang mencintai bumi
Mereka
mendaki ke puncak gunung-gunung
Mereka tengadah & berkata, kesana-lah Easthi pergi
Kembali ke pangkuan bintang-bintang
Sementara
bunga-bunga negeri ini tersebar sekali lagi
Sementara saputangan menahan tangis
Sementara Desember menabur gerimis
Aku
tak asing dengan puisi ini. Bukankah ini puisinya Sanento Yuliman yang dibuat
khusus untuk mengenang kepergian Soe Hok Gie dan Idhan Lubis?
Aku
terperanjat tatkala Kang Nordman menepuk pundakku dari belakang,”Di sini, enam
tahun yang lalu, kekasih yang sangat aku cintai, Easthi, menghembuskan nafas
terakhirnya. Dan tahukah kamu tentang ransel merah tua yang biasa kupeluk dan
kuciumi itu? Ialah bagian dari diri Easthi yang masih bisa ku miliki sampai
sekarang ini.”
Duuuuaaarrrrrr
….. aku masih belum begitu percaya dengan apa yang kudengar barusan. Jadi
kejombloan Kang Nordman selama ini tidaklah seperti yang aku dan teman-teman
bayangkan. Berdosa sekali aku selama ini yang mengatakan Kang Nordman mengalami
kelainan yang diakibatkan oleh kejombloan akut yang dialaminya hingga sekarang.
Aku
jadi teringat perkataan Sir Martin Convay; Each
fresh peak ascended teaches something, setiap puncak yang baru didaki selalu
mengajarkan sesuatu. Dan kali ini aku belajar banyak kepada Kang Nordman,
seorang sahabat yang telah mengajariku akan arti cinta dan kesetiaan.
Setiap
kejombloan pastilah ada alasan. Dan cinta Kang Nordman bisa kujajarkan dengan
cinta Chairil Anwar kepada Aryati, cinta Khalil Gibran kepada Selma Karamy.
Nampaknya Kang Nordman memilih jalan cinta yang sunyi seperti halnya Umbu Landu
Paranggi.